Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Misteri Cangkir Retak

8 Maret 2021   09:30 Diperbarui: 8 Maret 2021   10:12 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.gambar.pro/2010/04/100-gambar-gelas-yg-retak-kekinian.html

"Engkau tidak tahu, kawan," katanya beberapa saat kemudian. Dia memang selalu memanggilku kawan, sekali pun dia  tahu namaku.  Mungkin  karena nama kami berdua  mirip  satu  sama lain,  dia  jadinya  memilih memanggilku  kawan  daripada  Santo. Dia Santoso Harimulyo sedangkan aku Santo Sobirin.

"Cangkir-cangkir retak yang kukumpulkan," Santoso melanjutkan, "bukan sembarang cangkir-cangkir retak!"

Aku mengernyitkan kening ketika itu, heran. Aku tidak melihat sesuatu yang  aneh.  Cangkir-cangkir retak yang  dikumpulkan memang cangkir-cangkir retak biasa.

"Kulihat  semua  cangkir  retak  biasa yang ada   dalam koleksimu!" kataku hendak membantah  pernyataannya  yang terakhir tadi.

Santoso kembali tersenyum dengan sejuta makna di dalamnya.

"Kau tahu kulitnya tidak isinya. Cuma tahu ekornya tetapi tidak kepalanya. Sekilas memang tidak ada apa-apanya tetapi jika mau menggunakan mata dan otakmu sekaligus, mungkin bisa melihat maksud yang terkandung  di dalamnya,  atau paling tidak engkau tentu berpikir bahwa pasti ada sesuatu dengan koleksi-koleksi semacam itu."

Mataku membelalak lebar menatap Santoso yang  samar-samar  bisa kurasakan sedang meneropong jauh ke depan. Entah apa yang diteropongnya. Orang ini ternyata mulai menggelitik sifat ingin tahuku. Aku yang pada dasarnya memang selalu ingin tahu, sekarang seperti ditantang.

"Baiklah," kataku akhirnya, "kau tidak usah  katakan  apa maksud tersembunyi dalam tindakanmu itu. Beri aku ..."

"Kau pikir aku akan semudah itu bercerita padamu. Jangankan sekarang engkau memang tidak mau, kau berlutut memohon sekali pun belum tentu aku meluluskan permintaan semacam itu!"

Dia benar-benar seenak perutnya saja memotong  kata-kataku yang belum selesai. Menghadapi orang lain mungkin aku akan kesal tetapi khusus menghadapi dia, entah mengapa aku bisa tetap bersabar.

"Beri aku waktu sehari dan aku pasti sudah tahu apa  maksud dari semua tindakanmu," kataku. Terus terang saja ketika itu aku terlalu menyombongkan diri tetapi mana mungkin aku mengaku kalah dan merengek-rengek ingin tahu apa maksudnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun