Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Lewat Surat

7 Maret 2021   06:42 Diperbarui: 8 Maret 2021   06:21 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via www.stocksy.com

Hendra tersentak, ketika tepat dua hari, seperti yang dikatakan dalam surat ancaman, surat itu kembali muncul. Sebenarnya laki-laki muda itu sudah melupakan tetapi ketika membuka pintu dan sepucuk surat tergeletak di lantai kamar, ingatan akan surat yang pertama kembali muncul.

Hendra memungut surat itu. sekarang pengirimnya bukan dari Bandung tetapi dari Cirebon. Surat itu diposkan dari Cirebon dan pengirimnya juga menulis kota Cirebon.

"Anda ternyata meremehkan peringatan kami," begitu surat itu dimulai. Langsung dan tanpa basa-basi. "Menurut peraturan organisasi kami, hari ini juga sebenarnya kami harus langsung menindak anda tetapi mengingat anda masih muda, masih mempunyai masa depan yang cerah dan kami juga berharap anda bisa segera insaf, kami tidak langsung menindak anda saat ini. Dua hari lagi kami berikan kesempatan untuk anda. Cuma jangan lupa, ini dua hari yang terakhir. Tidak ada perpanjangan waktu lagi. Juga tidak ada penundaan lagi. Anda berubah atau anda terpaksa kami singkirkan."

Pengirimnya itu tetap sama seperti surat yang pertama. Pembela hak kaum wanita.

Hendra gemas. Wanita mana yang pernah diganggunya? Mempunyai pacar saja dia belum! Lalu apa maksud surat ini! Bercanda dengannya?

"Bah!" seru Hendra sambil meremas-remas surat itu dan melemparkannya ke keranjang sampah. "Akan kutunggu dua hari lagi itu. Akan kulihat, apa yang bisa diperbuat pada diriku. Menggoda orang boleh saja tetapi tidak dengan cara seperti ini!"

Hendra mencoba melupakan surat itu tetapi tidak seperti yang pertama dulu, kali ini sulit sekali. Samar-samar Hendra merasakan kalau ini semua tidak sekedar lelucon. Pasti ada sesuatu di balik ini semua, cuma dia tidak tahu sesuatu itu apa.

Lonceng berdentang dua kali. Mata Hendra belum juga terpejam. Seluruh ingata digali mencoba menemukan temannya di Bandung atau Cirebon tetapi gagal karena memang tidak pernah punya teman di kota itu. Jangankan teman, diam di kota itu saja dia belum pernah. Kalau lewat Cirebon memang pernah tetapi cuma lewat. Sedangkan Bandung, lewat pun dia belum pernah.

Ancaman! Dia tidak suka ancaman. Betapa pun tidak tepatnya ancaman ini tetapi ancaman tetap ancaman. Membuat orang tidak tenang! Kalau surat ini cuma sekedar omong besar mungkin tidak jadi masalah tetapi bagimana kalau surat ini tidak sekedar bercanda? Bagaimana kalau penulis surat ini bisa membuktikan ancamannya? Bisa menyingkirkan dirinya?

Hendra merasa dirinya bukan orang yang terlalu pemberani. Bahkan sering dia merasa takut kalau harus berselisih dengan orang lain. Menghadapi sesuatu yang gelap seperti ini, diam-diam timbul juga rasa takutnya.

Keesokan harinya, Hendra masuk kantor dengan mata merah. Dia mengantuk, karena baru sekitar jam tiga pagi baru bisa tidur. Keadaan konyol ini masih ditambah dengan mimpi buruk. Hendra merasa dirinya dikejar-kejar seorang pembunuh. Ketika terbangun, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun