Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Masa Depan: Narapidana Antariksa

13 Desember 2020   11:40 Diperbarui: 13 Desember 2020   12:17 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.artmajeur.com/en/andriymarkivart/artworks/11892449/space-girl

Narapidana Antariksa

Kemajuan ilmu pengetahuan
Adalah berkah bagi banyak orang
Meskipun kadang kala dapat juga
Berubah menjadi bencana!
Tetapi apapun yang dilakukan
Oleh ilmu pengetahuan,
Peradaban dan kemanusiaan
Harus tetap menjadi bingkainya!

Semuanya berjalan lancar. Pesawat peneliti Antariksa itu meluncur ke angkasa dengan mulus. Sembilan jam kemudian, pesawat peneliti yang dipersenjatai itu menempati orbit yang telah direncanakan dengan sempurna. Seinci pun tidak menyimpang dari rencana. Semuanya tepat. Semuanya sempurna. 

Komandan pesawat, Kolonel Himawan, melaporkan keadaan itu dengan gembira. Di stasiun pengendali, Jenderal Gananto sendiri menerima langsung laporan itu.

"Bagus!" kata Jenderal Gananto dengan gembira. "Periksa semua peralatan pesawat peneliti anda, Kolonel! Periksa berulang-ulang! Masih ada waktu satu jam dari sekarang. Saya minta anda dan juga dua teman anda tidak bosan-bosannya memastikan bahwa semua perlengkapan bekerja sempurna. Saya tidak ingin, begitu waktu itu tiba, anda melaporkan sesuatu yang tidak beres. Anda paham, Kolonel?"

"Paham, Jenderal!" sahut Kolonel Himawan.


"Coba anda ulangi pesan saya!" perintah Jenderal Gananto. Suatu prosedur yang sebenarnya kurang biasa. Entah bagaimana pentingnya tugas yang diemban oleh pesawat peneliti ini sampai-sampai Jenderal Gananto bertindak seperti itu. Sangat teliti sampai ke rincian terkecilnya.

Kolonel Himawan mengulangi perintah Jenderal Gananto satu demi satu. Tidak ada nada gugup. Semua diulangnya tepat persis sama.

Mungkin belum pernah terjadi dalam sejarah seorang Jenderal menyeleksi sendiri tiga astronout pilihan dari banyak astronout Indonesia. Jenderal Gananto sendiri menangani pemilihan ketiga orang tersebut. Singkat dan rahasia. Tidak ada asisten membantu Jenderal itu.

Sebelum terpilih mereka bertiga sebenarnya memang telah  melewati saringan super berat dan pendidikan super lama. Jadi Jenderal Gananto pada dasarnya hanya memilih yang terbaik dari kumpulan yang terbaik.

Satu hari penuh seleksi penuh rahasia itu diadakan. Sementara persiapan pesawat peneliti sudah selesai. Begitu ketiga orang itu terpilih, keesokan harinya peluncuran dipersiapkan. Memang  agak tergesa-gesa tetapi semuanya berjalan lancar.

"Kau mungkin heran apa tujuan misi yang secara mendadak diadakan ini, bukan?" tanya Jenderal Gananto dengan bisikan lemah pada Kolonel Himawan yang ketika itu duduk di hadapannya.

Kerja keras secara marathon selama dua hari terakhir ini menguras semua tenaga dan semangat Jenderal Gananto. Jenderal yang biasanya bersuara lantang itu, sekarang lebih banyak berbisik lemah. Kolonel Himawan mengangguk.

Seulas senyum aneh muncul di sudut bibir Jenderal Gananto.

"Aku sendiri juga ingin tahu!" katanya kemudian.

Kolonel Himawan terperangah. Tidak salahkah dia mendengar itu? Atau mungkin Jenderal Gananto sedang bergurau? Kalau dia saja tidak tahu, lalu siapa yang tahu?

"Sampai saat ini aku belum tahu apa tujuan misi ini!" Jenderal Gananto melanjutkan, masih dengan suara lemah tetapi bernada mantap. Jenderal itu tampaknya bermaksud mengusir semua pertanyaan dan keheranan Kolonel Himawan. "Cuma Presiden dan beberapa orang kepercayaannya saja yang tahu. Jenderal Hartoyo mungkin tahu tetapi aku, aku berani bersumpah, jangankan tahu, meraba tujuan misi ini saja tidak bisa. Kau tahu Kolonel, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk misi rahasia yang terkesan tergesa-gesa ini?"

Kolonel Himawan menggeleng pelan.

"Sebaiknya tidak usah kukatakan! Deretan angkanya terlalu panjang. Jadi kita tahu atau tidak, sama percumanya! Tetapi tentang tujuannya, yang jelas engkau dan aku baru tahu semua ini tepat pada saat misi ini mencapai puncaknya. Kau benar-benar sudah siap, Kolonel? Aku baru saja mendapat telepon dari Presiden menanyakan keadaanmu dan dua orang temanmu. Beberapa jam lagi peluncuran. Presiden menekankan agar tidak ada penundaan apalagi pembatalan!"

Kolonel Himawan mengangguk mantap. Jenderal Gananto tersenyum lemah ketika itu.

Sekarang, pesawat dengan misi khusus itu sudah berada di orbitnya. Hubungan dengan stasiun pengendali berjalan lancar. Suara dan gambar bisa ditangkap dengan jelas.

"Semua peralatan bekerja dengan sempurna! Begitu juga dengan seluruh awak pesawat dalam kondisi prima!" Kolonel Himawan melapor setiap sepuluh menit.

Laporan semacam itu akan diulang sampai lima atau enam kali oleh Kolonel Himawan, mengingat waktu pelaksanaan misi yang sebenarnya masih satu jam. Sekarang sudah berlalu sepuluh menit.

"Amati terus menerus instrumen pesawatmu, Kolonel!" Jenderal Gananto memberi peringatan semacam itu untuk kesekian kalinya. "Kau tahu, laporan darimu sesegera mungkin kulaporkan langsung ke istana. Nanti kalau Presiden berkenan, semua hubungan dari Bumi ke pesawatmu akan disambungkan ke pesawat telepon di istana. Atau tepatnya, semua instruksi secara langsung akan diberikan oleh istana. Kami di sini memang bisa mendengarkan semua perintah itu, juga mencatat dan menganalisisnya tetapi ingat Kolonel, cuma itu! Kami tidak diberi wewenang untuk mengoreksi apalagi mengubah perintah tersebut. Jadi semuanya tergantung sepenuhnya pada presiden dan dirimu. Kau paham?"

Di layar televisi terlihat Kolonel Himawan mengangguk.

"Paham Jenderal!" kata Kolonel Himawan sesaat kemudian.

"Kutunggu laporanmu sepuluh menit kemudian, sementara ini aku akan meneruskan laporanmu ke istana kepresidenan!"

Sesaat kemudian jalur komunikasi kosong. Kolonel Himawan dengan dua rekannya sibuk mengamati dan memeriksa fungsi semua instrumen. Sedangkan Jenderal Gananto, seperti katanya tadi, memberi laporan langsung pada istana kepresidenan.

Di istana kepresidenan.

Presiden, para staf kepercayaan, terutama  pejabat penting dari Lembaga Antariksa Nasional, juga Jenderal Hartoyo yang tadi oleh Jenderal Gananto disebut-sebut sebagai orang yang mungkin tahu rencana misi rahasia ini, juga ada di sana.

Jenderal Gananto selesai melapor.

Presiden sebagai Panglima Tertinggi menatap Jenderal Hartoyo. Jenderal Hartoyo balas menatap Presiden dengan pandangan penuh arti.

"Bagaimana?" tanya Presiden pada Jenderal Hartoyo.

"Saya yakin tidak ada halangan berarti, Bapak Presiden!"

Presiden mengangguk puas.

Suasana dalam ruangan khusus kembali hening.

Di atas meja tidak ada peralatan lain, kecuali dua telepon berwarna merah dan putih. Tidak dapat disangkal dua pesawat telepon ini merupakan pesawat telepon paling penting di seantero negara ini.

Dengan pesawat telepon berwarna putih tidak ada tempat di Indonesia yang tidak bisa dihubungi secara langsung oleh Presiden. Dengan pesawat telepon merah Kepala Negara dapat berhubungan dengan rekan-rekannya di seluruh dunia.

"Bagaimana jika hubungan yang kita nantikan tidak datang tepat pada waktunya?" gumam Presiden lirih, sepertinya cuma ditujukan pada dirinya sendiri. Tetapi gumaman lirih itu jelas bisa didengar oleh mereka yang hadir, khususnya oleh Jenderal Hartoyo yang tempat duduknya kebetulan memang paling dekat.

"Kita tidak mengharapkan itu!" Jenderal Hartoyo membalas pelan. "Meskipun seluruh biaya misi ini dibiayai oleh mereka, atau tepatnya akan diganti oleh mereka tetapi kita tetap berharap misi ini memberi manfaat langsung bagi mereka. Kita tidak mengharapkan mereka mengeluarkan dana secara sia-sia sementara misi sebenarnya sama sekali tidak terlaksana!"

Presiden menghela nafas panjang. Sementara itu pandangan dan tatapannya terarah pada dua pesawat telepon di depannya. Pesawat telepon berwarna merah dan putih. Dua warna keramat bagi bangsa dan negara ini. Dengan dua warna inilah kemerdekaan tanah dan bangsa ini direbut. Tidak terbilang darah tertumpah, tidak terbilang pengorbanan dipersembahkan untuk dua warna ini.

Dirinya memang belum lahir ketika semua itu berlangsung tetapi catatan sejarah menceritakan itu semua itu pada dirinya. Sekarang, ketika saat-saat cukup tegang menggantung di atas kepala, keharuan kenangan perjuangan masa lalu yang penuh pengorbanan itu membayang dan bermain-main di benak Presiden.

Negara yang sekarang dipimpinnya telah melesat maju sejalan dengan perjalanan sejarahnya. Negaranya bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan negara-negara besar di dunia lainnya. Tetapi mengapa keharuan dan kenangan pada perjuangan masa lalu kadang-kadang masih mampu membuatnya terpana?

Presiden tersenyum aneh sendirian. Semua yang hadir sama-sama mengerutkan kening melihat senyum aneh Presiden. Tetapi mereka semua memilih diam. Tidak ada yang berani usil menanyakan apa makna dan arti senyum itu.

Tiba-tiba lampu merah pesawat telepon merah berkedap-kedip tanda ada hubungan. Tangan kanan presiden bergerak secepat ular mematuk, menjangkau pesawat telepon merah. Sebelum mengangkat telepon merah, Presiden melirik Jenderal Hartoyo. Dua orang ini saling mengangguk lega.

Jenderal Hartoyo tersenyum. Presiden juga.

"Ya, hallo!" kata Presiden begitu pesawat penerima berwarna merah menempel di telinganya.

"Benar!" jawab Presiden dengan gembira. "Di sini Jakarta!"

Tanpa terasa suasana dalam ruangan itu semakin tegang. Presiden berkali-kali mengangguk. Roman mukanya hampir-hampir tidak memberikan petunjuk apa-apa sehubungan dengan pembicaraannya.

Sebenarnya tidak sampai empat puluh detik Presiden mendengarkan keterangan dari seberang sana, tetapi bagi yang hadir dalam ruangan itu,  termasuk Jenderal Hartoyo, yang empat puluh detik itu terasa lama sekali. Mungkin karena mereka tidak bisa mendengar sendiri secara langsung suara itu sementara persoalan yang dibicarakan di sana melibatkan mereka semua sejak empat hari yang lalu.

"Kami mengerti!" akhirnya Presiden berkata. "Yang Mulia tidak usah khawatir. Kami akan berusaha membantu Yang Mulia sekuat kami bisa. Bukankah negara kita berdua telah lama sekali menjadi sahabat baik? Pertolongan kecil macam ini tidaklah perlu terlalu dibesar-besarkan oleh Yang Mulia!"

Presiden sekali-kali mendengarkan suara balasan dari alat penerima. Wajah Presiden berubah semakin cerah sekalipun samar-samar masih terlihat rasa tegangnya.

"Baik Yang Mulia!" kata Presiden akhirnya mengakhiri pembicaraannya. "Kami akan segera memberi tahu Yang Mulia begitu pekerjaan ini selesai!"

Presiden tersenyum lebar.

"Tidak ... tidak usah khawatir!" kata Presiden diselingi tawanya. Presiden mendengarkan sejenak.

"Sampa jumpa yang mulia ...!"

Kemudian, Presiden perlahan-lahan meletakkan telepon berwarna merah itu.

"Sekarang hubungkan aku dengan pesawat khusus kita!" kata Presiden pada jenderal Hartoyo. "Siapa komandannya? Kolonel Himawan?"

"Benar, Kolonel Himawan," kata Jenderal Hartoyo sambil mengangkat telepon berwarna putih.

"Halo," kata Jenderal Hartoyo datar. "Jenderal Gananto di situ?"

Jenderal Hartoyo mendengarkan sejenak sebelum melanjutkan: "Hubungkan pesawat khusus dengan istana. Sekarang misi ini diambil alih oleh istana kepresidenan. Berapa lama bisa diselesaikan?"

Jenderal Hartoyo mendengarkan balasan.

"Baik, hubungi kami begitu komunikasi langsung tersambung!"

Jenderal Hartoyo meletakkan telepon putih.

"Lima menit lagi, Bapak Presiden!" kata Jenderal Hartoyo.

Presiden mengangguk.

Untuk orang yang tidak sabaran. Lima menit bisa menjadi waktu yang sangat lama dan panjang tetapi untuk orang yang sabar, lima menit jelas tidak.

Presiden menjangkau gagang telepon warna putih ketika lampu isyaratnya menyala berkedap-kedip. Presiden mendengarkan sejenak, menekan tombol kecil di pesawat pesawat telepon, dan suara dua belah pihak terdengar jelas sekarang.

"Jenderal Gananto disini, Bapak Presiden!"

Suara Jenderal Gananto terdengar bening meski terasa ada nada lelah di dalamnya.

"Hubungan langsung dengan pesawat siap!"

"Terima kasih Jenderal!" balas Presiden. "Bisa saya bicara dengan mereka sekarang?"

"Silakan bapak Presiden!"

Sesaat terdengar suara denging halus. Ketika denging halus hilang, hubungan langsung dengan pesawat Antariksa milik pemerintah Indonesia tersambung sudah.

"Kolonel Himawan?" panggil Presiden.

Di layar TV di depan Presiden keadaan dalam pesawat terlihat jelas. Kolonel terlihat melayang-layang, sibuk dengan pekerjaannya.

"Benar, bapak Presiden!" jawab Kolonel Himawan sambil menghentikan pekerjaannya dan menghadap tepat kearah mereka semua.

Presiden melirik arloji tenaga nuklir di tangan kiri.

"Waktu di pesawat anda menunjukkan pukul berapa sekarang?" tanya Presiden tiba-tiba.

"Delapan tiga belas lima tujuh!" jawab Kolonel Himawan cepat. Presiden mengangguk. Persis sama.

"Anda siap melaksanakan misi khusus ini?".

"Siap, bapak Presiden!"

"Kira-kira anda sudah mempunyai gambaran apa tugas rahasia itu?"

Kolonel Himawan terlihat menggeleng.

"Sama sekali tidak, Bapak Presiden!" katanya.

"Sebelum ini anda pernah bertugas memburu dan menangkap seseorang? Maksud saya di angkasa luar?"

Bukan cuma Kolonel Himawan yang mengerutkan kening mendapat pertanyaan semacam itu, Jenderal Hartoyo dan mereka yang hadir di ruangan itu juga mengerutkan kening. Memburu dan menangkap seseorang? Di antariksa lagi!

"Belum pernah!" Kolonel Himawan bingung.

"Kalau begitu sekarang inilah anda mendapat tugas itu! Seorang astronout, yang sebelum ini dipenjarakan karena tindakan yang membahayakan keamanan negara, berhasil meloloskan diri dari penjara khususnya dan sialnya, dia berhasil mencuri pesawat Antariksa mini dan melarikan diri. Nah, tugas Kolonel untuk mengejar dan membekuk astronout tersebut."

Presiden diam sejenak kemudian melanjutkan:

"Hidup atau mati tugas ini harus terlaksana. Beberapa dokumen yang dibawa Astronout tersebut sangat penting dan pasti akan menimbulkan gejolak kalau sampai diketahui oleh beberapa negara yang selama ini berselisih dengan negara kita."

Kembali Presiden berhenti sejenak. Ruangan sejenak hening. Kolonel Himawan menunggu.

"Nama negara kita juga ikut tersangkut dalam dokumen itu. Perang mungkin akan pecah kalau dukomen itu jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi, temukan dan tangkap orang tersebut. Kalau tidak berhasil menangkapnya hidup-hidup, anda diberi wewenang dan kuasa penuh untuk menghancurkannya. Instruksi ini jelas, Kolonel?"

"Jelas, bapak Presiden!" jawab Kolonel Himawan agak tergagap.

"Bagus! Kutunggu berita darimu dan kuingin cuma berita baik yang kau kirimkan. Jangan kecewakan aku, Kolonel! Selamat bertugas!"

Presiden menunggu sejenak sebelum akhirnya meletakkan telepon.

"Mudah-mudahan Kolonel Himawan tidak mengecewakan kita!" gumam Presiden sambil bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruangan. Tinggal Jenderal Hartoyo dan pejabat-pejabat dari Lembaga Antariksa Nasional yang masih tergugu heran.

Mimpi pun mereka tidak pernah menyangka akan ada kejadian seperti ini. Memburu seorang narapidana di Angkasa Luar. Kolonel Himawan pun tidak pernah mimpi kalau pada suatu ketika nanti dia akan mendapat tugas seperti ini. Tetapi tugas dan perintah telah diberikan, bahkan langsung oleh pimpinan tertinggi negeri ini. Apalagi yang bisa dikerjakan kecuali melaksanakan sebaik mungkin?

Perhatian Kolonel Himawan kembali tenggelam pada panel instrumen di depannya. Dia sekarang harus mengerahkan segenap kemampuannya melaksanakan tugas. Memburu dan menangkap seseorang di Antariksa jelas bukan pekerjaan mudah. Benar-benar sangat tidak mudah.

"Tetapi aku harus berhasil!" desis Kolonel Himawan pada dirinya sendiri.

Semuanya sama-sama menunggu sekarang. Di Bumi menunggu, dia di Antariksa juga menunggu, menunggu kesempatan! (R-SDA-12122020)

Tri Budhi Sastrio

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun