Mohon tunggu...
Trianto ibnuBadar
Trianto ibnuBadar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku; Seniman; Pengamat, Praktisi, Birokrasi, Pemerhati Pendidikan, Seni dan Budaya

Olahraga, penikmat seni

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sri Huning Mustika Putri dari Tuban: Laboh Tresno Saboya Pati [Bagian 4]

18 Juli 2022   10:16 Diperbarui: 18 Juli 2022   10:40 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari pernikahan antara Raden Wira Admodjo dan Kusumaning Ayu Dewi Retno Kumolopun tiba. Pendopo Kadipaten Bojonegoro terlihat hingar bingar, beberapa undangan berdatangan dari seluruh penjuru Kadipaten, diantaranya beberapa bupati dari Kadipaten sekitar. Hari ini Kadipaten Bojonegoro benar-benar berhias kemegahan. Tidak ketinggalan rakyatpun ikut merasakan kebahagiaan, di alun-alun barat tampak beberapa hiburan rakyat dan juga pasar rakyat ikut mewarnai hari kebahagiaan pernikahan junjungan mereka.

Prabu Haryo Kusumo begitu sibuk menyambut para tamu undangan yang rata-rata adalah para adipati dan bangsawan. Begitupun dengan Prabu Sirolawe begitu suka cita atas resepsi pernikahan putra sulunnya yang kelak diharapkan menjadi pewaris tahta kadipaten Tuban. Dewi Retno Kumulo kelihatan begitu bahagi yang tercermin dari raut mukanya, hal berbeda dengan wajah Raden Wiro Atmodjo yang selalu cemberut dan kurang bergairah.

Namun ditengah-tengah kegembiraan tersebut, mendadak menjadi kisruh karena kedatangan beberapa punggawa yang melaporkan bahwa di sebelah timur perbatasan antara kadipaten Bojonegoro dan Kadipaten Lamongan Prabu Indro Djojo bersama-sama dengan prajuritnya bersenjata lengkap memaksakan diri untuk merebut Dewi Retno Kumolo untuk dijadikan istrinya.

***

Sri Huning yang dalam kekalutan hatinya, melampiaskannya pada beberapa potong tonggak tempat dihantam kedigjayaan, wajarlah walaupun seorang wanita dia adalah prajurit yang tangguh. Demi mendengar resepsi pernikahan Raden Wiro Admodjo, Sri Huning enggan menghadiri pernikahan kakaknya dan sekaligus kekasihnya dengan alasan sedang tidak enak badan … hatinya merasa gundah. Baru setelah benar-benar lelah dalam pelampiasannya, nafasnya terdengar terengah-engah.

Sebagai seorang prajurit (prajurit putri) tidak seharusnya dia berlaku seperti begitu. Dia harus dapat menerima kenyataan walaupun hatinya sangat sakit, karena hal itu bukanlah sebuah kesalahan. Semua orang tahu bahwa dia adalah puteri Prabu Sirolawe dan adik dari Raden Wiro Utomo dan harus menghormati keberadaan ayahandanya.

Dengan menanggalkan pakaian prajurit putrinya (Bhayangkari) dan berganti pakaian laki-laki, ‘Sri Kandi’ dari Tuban ini memacu kuda putihnya cepat-cepat menuju kadipaten Bojonegoro untuk menghadiri resepsi pernikahan Raden Wiro Admodjo dan Dewi Retno Kumolo. Entah apa yang berkecamuk dalam hatinya… Bagaikan angin kuda putih itupun melesat meninggalkan wilayah Tuban menuju kadipaten Bojonegoro. Pegunungan kapur utara dan luapan bengawan solo yang menjadi pembatas kadipaten Tuban dan Bojonegoro bukanlah menjadi halangan bagi Sri Huning.

****

Sementara itu Perang antara prajurit Kadipaten Bojonegoro dengan Prajurit Kadipaten Lamongan tidak dapat dielakkan. Beberapa korban dari kedua belah pihak mulai berguguran. Namun tampaknya prajurit dari Kadipaten Lamongan berada di atas angin, karena kewalahan prajurit dari Kadipaten  Bojonegoro mundur.

Berita kekalahan prajurit kadipaten Bojonegoro membuat resah Prabu Haryo Kusumo dan Parbu Sirolawe. Beberapa teman dekat Prabu Haryo Kusumo, termasuk beberapa Bupati bermaksud membantunya, tetapi dengan penuh arif Prabu Haryo Kusumo menolaknya mengingat hal ini adalah masalah pribadi dan tidaklah ethis memperlakukan tamu kurang baik.

Di Kori temanten Raden Wiro Admodjo tampak tenang dan tidak ada respon, sementara Dewi Retno Kumolo begitu gelisah mendengar kekalahan prajurit Bojonegoro. Melihat sikap yang dingin dari Raden Wiro Admodjo mengundang rasa curiga Dewi Retno Kumolo bahwa suaminya itu sebenarnya tidak cinta kepadanya. Namun sebagai seorang isteri tidak sepantasnya untuk menanyakan hal itu. Dengan sikap lembut Dewi Retno Kumolo berkata kepada suaminya:

“Kakang, apakah Kakang tidak mendengar bahwa prajurit kadipaten Lamongan dan Tuban dikalahkan oleh prajurit Kadipaten lamongan.”

Sambil, tersnyum sinis Raden Wira Admodjo balik berkata.

“Yayi … sebenarnya masalahnya itu sepele. Prabu Indro Djojo mau menikahi yayi Dewi. Apabila yayi berkenan khan perang akan reda dengan sendirinya.”

            Dada Dewi Retno Kumolo sangat muntap, dia merasa dipermainkan oleh Raden Wiro Admodjo yang sekaligus suaminya itu. Sebagai seorang puteri harga dirinya telah dilecehkan. Sambil menangis terisak-isak dan dengan nada tinggi dia berkata:

“Baiklah Kakang, tidak apa-apa Kakang menghina saya, tetapi sebagai seorang prajurit tidaklah pantas kakang berpangku tangan begitu. Dimana letak kstariamu.”

“Baik… baiklah saya akan menuju ke medan perang. Tetapi tujuanku  atas nama Kadipaten Bojonegoro.”

            Raden Wiro Admodjo segera menanggalkan pakaian kemantennya dan berganti pakaian prajurit. Dengan mengendarai kuda hitamnya dia berpamitan kepada Parbu Haryo Kusumo dan ayahandanya Parbu Sirolawe. Dengan berat hati Prabu Sirolawe melepas keberagkatan putra sulungnya yang sebenarnya merupakan pantangan seorang kemanten maju di medan perang. Baru saja kuda Raden Wira Admodjo akan keluar dari Pendopo Kadipaten mendadak dihentikan oleh seorang berpakaian prajurit dan bebercadar serta mengendarai kuda putih … Sri Huning, dia baru saja tiba. Demi mendengar bahwa Raden Wiro Admodjo akan berangkat perang, Sri Huning menahannya dan sebagai gantinya dia sendiri yang akan menuju ke medan perang. Raden Wiro Atmodjo tidak kuasa menahan keinginan Sri Huning.

Dengan diiringi beberapa prajurit dari kadipaten Tuban dan Bojonegoro, Sri Huning menghadang laju prajurit kadipaten Lamongan. Bagaikan seekor burung Srikatan kelincahan Sri Huning berhasil memporak-porandakan prajurit ujung tombak  kadipaten Lamongan. Dengan cadar dan pakaian seorang pria tidak sedikitpun musuh mengetahui bahwa sebenarnya dia adalah seorang wanita.

Kabar hancurnya pasukan penghancur ujung tombak membuat Prabu Indro Djojo geram, dia penasaran ada orang yang mampu menghancurkan pasukan pilihannya itu. Dengan didampingi Patih Sosro Yudho, Prabu Indro Djojo langsung menghadang gerak laju pasukan gabungan kadipaten Tuban dan Bojonegoro, karena kesaktiannya prajurit gabungan itupun dapat dihancurkan. Kini tinggal pemimpin pasukan mereka yaitu Sri Huning yang bercadar dan berpakain laki-laki berhadapan dengan Prbu Indro Djojo dan Patih Sosro Yudho. Dengan geram mereka segera menyerang Sri Huning, beberapa serangan mereka dapat dihindarkan namun sebuah sabetan dari keris sakti Prabu Indro Djojo berhasil membuka cadar Sri Huning. Betapa kagetnya mereka begitu tahu bahwa musuh yang dihadapinya adalah seorang wanita. Melihat kecantikan wajah Sri Huning mata Parbu Indro Djojo menjadi hijau, dan merayunya agar mau dijadikan istri.

“Walah, ternyata cah ayu to yang maju dimedan perang. Hey Bocah Ayu siapa namamu he…, apa Kadipaten Tuban dan Bojonegoro sudah tidak memiliki senopati laki-laki ya!”

“Hey, Indro Djojo. Ketahuilah walaupun aku wanita tetapi aku adalah prajurit. Majulah kamu.”

Prabu Indro Djojo hanya tertawa terbahak-bahak dengan perkataan Sri Huning. Dia mencoba merayu dengan berbuata yang tidak senonoh, tetapi pada saat tangan Prabu Indro Djojo nakal, Sri Huning meludahi wajahnya. Merasa dihina Prabu Indro Djojo sangat marah, dan perangpun kembali berkecamuk. Kali ini Prabu Indro Djojo benar-benar tidak memberi kesempatan pada Sri Huning, sehingga pada saat Sri Huning lengah kerisnya berhasil menusuk ulu hati Sri Huning. Sri huning terhuyung-huyung, sementara pasukanya terpontang-panting.

Raden Wiro Admodjo meletakkan tubuh Sri Huning yang terkulai lemas dalam pangkuannya, darah segar Sri Huning membasahi pakaian perangnya.

“Sri Huning … Sri Huning. Jangan tinggalkan Kakang Sri Huning ….”

“Kakang Wiro Admadjo … Kakang saya tunggu di alam keabadian ….”

“Sri Huning. Sri Huning. Sri Huning …”. 

Raden Wiro Admodjo menjerit mengiringi kepergian Sri Huning. Suaranya memecah kebisuan malam yang semakin larut disertai hujan rintik-rintik yang semakin meyayat setiap hati yang dilanda kedukaan. Sri Huning telah gugur sebagai kusuma bangsa di dalam membela cinta sejatinya yang suci.

Trianto

Penulis, Praktisi, Pemerhati, dan Birokrasi Pendidikan, Seni, dan Budaya. Penulis Buku Bestseller "Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kotekstual".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun