Terutama guru dan para orang tua murid. Guru cenderung diperlakukan sebagai tenaga administrasi yang dituntut bermacam kewajiban menyelesaikan aktivitas administratif lebih besar porsinya dari pada fokus dalam proses belajar mengajar.Â
Keempat, politik pendidikan nasional yang kian menjauh dari core values : ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani. Baik pemerintah (pejabat), khususnya DPR selama ini cenderung bersikap latah dengan bermain istilah asing agar dianggap maju. Tapi model dan cara penanganan masalah masih mengikuti pola ambtenaar.Â
Dengan demikian, kebijakan pemerintah selaku penyelenggara negara selalu mengambang . Tak pernah tuntas menyelesaikan masalah dasar. Atau tak pernah menyentuh akar masalah.Â
Kelima, membiarkan dunia pendidikan menjadi ajang pertarungan kepentingan sektarian baik dari sektor politik maupun bisnis (dunia usaha).Â
Dengan kondisi yang serba mengambang itulah, kita disuguhi dengan banyak "gambar buruk" yang memantul dari cermin retak praktik di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Tak perlu heran, apalagi heboh dengan kejadian pelecehan seksual yang menimpa mahasiswi, perudungan di lingkungan sekolah oleh teman sebaya dan sebagainya.Â
Dunia pendidikan memang telah dijauhkan dari akar keindonesiaan sejak awal rejim Orde Baru berkuasa. Paling tidak itu kesan seorang guru dan pejuang kemerdekaan yang kemudian saya tulis dalam serial cerita pendek Tangisan Seorang Guru Tua .Â
Tulisan ini hanya penegasan dari beragam cerita almarhumah Ibu Atiatoen Wirjosoemarto selama dan setelah pensiun jadi guru SD. Oleh para muridnya, beliau dikenal sangat tegas, berdisiplin dan galak. Tapi simpatik dengan orang-orang yang perlu uluran tangannya.Â
Referensi tambahan: Satu , Dua