Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Molen: Antara Pisang, Beton, dan Persepsi Politik

10 Oktober 2025   22:36 Diperbarui: 10 Oktober 2025   23:19 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Molen: Antara Pisang, Beton, dan Persepsi Politik

Oleh: Toto Endargo

Asal-usul Ganda: Antara Mesin dan Makanan

Dalam keseharian kita, kata molen menghadirkan dua bayangan yang sangat berbeda. Di satu sisi, ia menunjuk pada mesin pengaduk beton---alat berat yang biasa berdengung di proyek-proyek pembangunan. Di sisi lain, molen juga berarti jajanan manis: pisang yang dibungkus adonan lalu digoreng hingga renyah keemasan.

Meski fungsi keduanya bertolak belakang, ada satu kesamaan yang tak bisa diabaikan: gerak melingkar. Dalam bahasa Belanda, molen berarti kincir, sesuatu yang berputar---seperti drum pengaduk beton, atau gulungan adonan yang membungkus pisang. Dari sinilah kata itu diserap dan hidup dalam dua dunia: dunia konstruksi dan dunia kuliner.

Antara Bahan dan Fungsi

Secara material, molen mesin terbuat dari logam dan tenaga mesin: kuat, berat, dan bising. Ia diciptakan untuk mengaduk semen, pasir, dan air menjadi satu kesatuan kokoh bernama beton. Sebaliknya, molen makanan berbahan tepung, pisang, dan minyak: ringan, manis, dan lembut.

Namun keduanya memiliki filosofi serupa: menyatukan unsur yang berbeda menjadi sesuatu yang baru. Yang satu membangun bangunan fisik, yang lain membangun kenangan dan rasa keakraban.

Molen dalam Budaya

Pisang molen telah menjadi bagian dari kuliner rakyat---hadir di pasar tradisional, warung pinggir jalan, hingga kedai modern. Ia melambangkan kesederhanaan dan kedekatan. Dapat menjadi alat politik, pendekatan ke rakyat kecil: Bagi-bagi pisang molen bisa menjadi simbol kepedulian terhadap rakyat, UMKM, atau "ekonomi kerakyatan".

Sebaliknya, molen alat muncul di ruang-ruang pembangunan: proyek jalan, perumahan, jembatan. Ia membawa citra kemajuan dan perubahan ruang. Tapi di balik suara deru mesinnya, molen juga menyimpan makna simbolik kekuasaan---ia menandai kehadiran negara, keputusan politik, dan kerja besar yang selalu ingin terlihat di mata publik.

Politik Pembangunan dan Simbol Molen

Dalam politik kontemporer, alat berat seperti molen sering dijadikan alat komunikasi visual. Tak perlu pidato panjang: cukup hadirkan molen yang sedang bekerja, dan publik segera menangkap pesan yang ingin disampaikan --- "Saya membangun."

Deru mesin menjadi suara kampanye yang halus tapi efektif. Beton dicampur, jalan dibuka, simbol perubahan terlihat nyata.

Fenomena ini kini terlihat di Parung Panjang, Kabupaten Bogor, wilayah yang lama dikenal dengan jalan-jalan rusak akibat aktivitas truk tambang. Dalam beberapa bulan terakhir, deretan molen berputar serentak di sana---bagian dari agenda pembangunan yang digulirkan oleh KDM, figur publik yang kian menonjol di jagat politik lokal.

Kehadiran molen di Parung Panjang tak lagi sekadar menyelesaikan infrastruktur. Ia menyentuh lapisan yang lebih halus: pencitraan kepemimpinan---pemimpin yang "hadir", "bekerja nyata", dan "peduli rakyat". Di sinilah molen melampaui perannya sebagai alat konstruksi: ia berubah menjadi alat kampanye yang membentuk persepsi dan loyalitas.

Bahkan, dalam sebuah pernyataan publik disebutkan bahwa tahun depan akan digelontorkan anggaran 3,5 triliun rupiah untuk pembangunan infrastruktur. Jika itu terjadi, bisa dibayangkan betapa riuhnya ribuan molen akan berputar di seluruh Jawa Barat---bukan hanya mengaduk semen, tapi juga persepsi politik yang kian kental.

Penutup: Molen dan Masa Depan

Di era politik yang semakin visual, simbol lebih cepat bekerja daripada kata-kata. Molen, yang dahulu hanyalah mesin pengaduk beton, kini menjelma menjadi alat pengaduk persepsi. Ia berputar bukan hanya di proyek pembangunan, tapi juga di benak warga yang merindukan perubahan nyata.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah molen akan hadir, melainkan: apa yang sebenarnya sedang dibangun---jalan baru, jalan mulus, atau jalan menuju kekuasaan?

Di antara debu semen dan deru mesin, publik menanti: adakah fondasi yang sungguh-sungguh diletakkan, atau hanya cetakan citra yang makin dikokohkan?

Dan mungkin, di tepi jalan yang ramai itu, seseorang sedang mengunyah pisang molen sambil menatap molen yang berputar. Ia mengunyah pelan, mencoba mencerna bukan hanya rasanya, tapi juga mencerna arah politik yang tengah diaduk di hadapannya. ===

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun