Molen: Antara Pisang, Beton, dan Persepsi Politik
Oleh: Toto Endargo
Asal-usul Ganda: Antara Mesin dan Makanan
Dalam keseharian kita, kata molen menghadirkan dua bayangan yang sangat berbeda. Di satu sisi, ia menunjuk pada mesin pengaduk beton---alat berat yang biasa berdengung di proyek-proyek pembangunan. Di sisi lain, molen juga berarti jajanan manis: pisang yang dibungkus adonan lalu digoreng hingga renyah keemasan.
Meski fungsi keduanya bertolak belakang, ada satu kesamaan yang tak bisa diabaikan: gerak melingkar. Dalam bahasa Belanda, molen berarti kincir, sesuatu yang berputar---seperti drum pengaduk beton, atau gulungan adonan yang membungkus pisang. Dari sinilah kata itu diserap dan hidup dalam dua dunia: dunia konstruksi dan dunia kuliner.
Antara Bahan dan Fungsi
Secara material, molen mesin terbuat dari logam dan tenaga mesin: kuat, berat, dan bising. Ia diciptakan untuk mengaduk semen, pasir, dan air menjadi satu kesatuan kokoh bernama beton. Sebaliknya, molen makanan berbahan tepung, pisang, dan minyak: ringan, manis, dan lembut.
Namun keduanya memiliki filosofi serupa: menyatukan unsur yang berbeda menjadi sesuatu yang baru. Yang satu membangun bangunan fisik, yang lain membangun kenangan dan rasa keakraban.
Molen dalam Budaya
Pisang molen telah menjadi bagian dari kuliner rakyat---hadir di pasar tradisional, warung pinggir jalan, hingga kedai modern. Ia melambangkan kesederhanaan dan kedekatan. Dapat menjadi alat politik, pendekatan ke rakyat kecil: Bagi-bagi pisang molen bisa menjadi simbol kepedulian terhadap rakyat, UMKM, atau "ekonomi kerakyatan".