Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jejak Onje dalam Takdir (1): Raden Sutikna, Rara Mundhi dan Lahirnya Raden Tepasana

29 Agustus 2025   09:16 Diperbarui: 1 September 2025   13:39 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raden Sutikna, Rara Mundhi - ChatGPT

Jejak Onje dalam Takdir (1): Raden Sutikna, Rara Mundhi dan Lahirnya Raden Tepasana

Sejarah Jawa selalu menyimpan kisah-kisah kecil yang tersembunyi di balik kemegahan keraton dan gemuruh peperangan. Salah satunya adalah kisah Raden Mas Sutikna, yang kelak bergelar Amangkurat III, dengan seorang perempuan Onje bernama Rara Mundhi. Dari cinta mereka di antaranya lahirlah seorang putra, Raden Tepasana, yang kelak meneruskan darah raja dari tanah Onje hingga garisnya mencapai Garendi, atau Sunan Kuning, raja boneka Kartasura.

Raden Mas Sutikna adalah putra Amangkurat II, raja Mataram yang memindahkan pusat kerajaan ke Kartasura. Setelah ayahnya wafat pada 1703, Sutikna naik takhta sebagai Amangkurat III. Namun masa pemerintahannya penuh gejolak sejak awal. Pamannya, Pangeran Puger, yang kelak bergelar Pakubuwana I, juga mengklaim takhta. Pecahlah perang saudara yang memecah belah istana. Pakubuwana I didukung penuh oleh VOC, sementara Amangkurat III bertahan dengan sisa-sisa pasukan setianya.

Namun, jauh dari hiruk-pikuk perebutan kekuasaan itu, Raden Sutikna dikenal sebagai seorang lelaki lembut di luar gelanggang politik. Salah satu kisah cintanya yang jarang dicatat sejarah resmi adalah hubungannya dengan Rara Mundhi, seorang perempuan bangsawan dari Onje, daerah subur di barat kerajaan, kini masuk wilayah Purbalingga - Banyumas.

Onje pada masa itu masih menjadi bagian dari wilayah Kadipaten Wirasaba, sebuah tanah perdikan yang memiliki tradisi bangsawan tersendiri. Keluarga Rara Mundhi konon merupakan salah satu keluarga terkemuka di wilayah Onje dan terbawa ke Kartasura saat Amangkurat II bersama Pangeran Puger menyerang Kadipaten Slinga (1681).

Dalam cerita lisan yang diwariskan di Onje, pada akhirnya Rara Mundhi dikenal sebagai perempuan berparas ayu, cerdas, dan memiliki wibawa yang memikat hati sang raja muda. Hubungan mereka terjalin pada masa Sutikna masih menjadi putra mahkota, ketika ia melihat keluwesan Rara Mundhi di sebuah kegiatan kerajaan yang bukan untuk urusan politik. Cinta mereka salah satunya melahirkan seorang putra yang kemudian dinamai Raden Tepasana. Raden Tepasana lahir dan hidup di tengah pergolakan politik yang menjerumuskan ayahnya ke dalam kekalahan.

Setelah kalah perang melawan Pakubuwana I, Amangkurat III dipaksa menyerah dan diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka) pada 1708 oleh VOC. Ia wafat di pengasingan, jauh dari keraton, tanpa pernah kembali. Sementara itu, Rara Mundhi memilih menetap di wilayah Kartasura, membesarkan Raden Tepasana di kampung yang terasing dari kehidupan politik. Dalam banyak versi babad lisan, Raden Tepasana mewarisi wibawa dan darah keraton ayahnya, meski hidup jauh dari pusat kekuasaan.

Cerita Rara Mundhi, Raden Sutikna, dan Raden Tepasana ini menjadi penting karena dari garis inilah lahir Garendi, atau Sunan Kuning, salah satu tokoh kunci dalam pemberontakan Kartasura tahun 1742--1743. Garendi dikenal sebagai cucu Amangkurat III, tetapi dalam teks resmi tidak pernah dijelaskan siapa tepatnya ayahnya. Tradisi lokal telah menyebut bahwa Garendi adalah putra Raden Tepasana, sehingga ia adalah cucu Rara Mundhi.

Ketika Kartasura dikuasai pemberontak gabungan Jawa-Tionghoa yang dipimpin Raden Mas Said, Garendi diangkat sebagai raja boneka untuk melawan Pakubuwana II. Dalam Babad Tanah Jawi versi terjemahan The Chronicle of Java, Garendi disebut:

"...They then raised to the throne the young prince, grandson of the exiled Amangkurat III, calling him 'Susuhunan Kuning.' The Chinese and Javanese rebels swore allegiance to him, and he reigned for a time over Kartasura as their puppet king."

(Dalam terjemahan bebas: "...Mereka kemudian mengangkat pangeran muda, cucu Amangkurat III yang diasingkan, dan menyebutnya 'Susuhunan Kuning.' Pemberontak Jawa-Tionghoa bersumpah setia padanya, dan ia memerintah untuk sementara sebagai raja boneka mereka di Kartasura...")

Cerita ini menunjukkan bagaimana garis darah raja tetap menjadi simbol legitimasi, meski diselubungi intrik politik. Jejak darah raja yang mengalir lewat Rara Mundhi dan Raden Tepasana akhirnya kembali ke gelanggang sejarah besar, meski hanya sebentar.

Bagi masyarakat yang mengetahui, kisah Rara Mundhi adalah kebanggaan. Ia bukan hanya perempuan biasa, tetapi simpul penting dari sejarah yang menghubungkan tanah mereka dengan istana. Hingga kini, keturunan Raden Tepasana dipercaya masih ada di berbagai tempat, menjaga cerita ini turun-temurun.

Baca selanjutnya: Raden Tepasana Putra Terbuang yang Berdarah Onje

Kisah cinta Raden Sutikna dan Rara Mundhi, serta kelahiran Raden Tepasana, adalah pengingat bahwa sejarah besar tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya bersembunyi dalam ingatan daerah, menunggu seseorang --- seperti Anda yang membaca ini --- untuk kembali merangkainya.

Di Onje, darah raja tetap mengalir, Anyakrapati darah Raja Pajang, Tepasana dan Sunan Kuning darah dari Amangkurat III, membisikkan cerita kekuasaan dan pengasingan, cinta dan kehilangan, yang tak pernah lekang oleh waktu. ===

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun