(Dalam terjemahan bebas: "...Mereka kemudian mengangkat pangeran muda, cucu Amangkurat III yang diasingkan, dan menyebutnya 'Susuhunan Kuning.' Pemberontak Jawa-Tionghoa bersumpah setia padanya, dan ia memerintah untuk sementara sebagai raja boneka mereka di Kartasura...")
Cerita ini menunjukkan bagaimana garis darah raja tetap menjadi simbol legitimasi, meski diselubungi intrik politik. Jejak darah raja yang mengalir lewat Rara Mundhi dan Raden Tepasana akhirnya kembali ke gelanggang sejarah besar, meski hanya sebentar.
Bagi masyarakat yang mengetahui, kisah Rara Mundhi adalah kebanggaan. Ia bukan hanya perempuan biasa, tetapi simpul penting dari sejarah yang menghubungkan tanah mereka dengan istana. Hingga kini, keturunan Raden Tepasana dipercaya masih ada di berbagai tempat, menjaga cerita ini turun-temurun.
Baca selanjutnya: Raden Tepasana Putra Terbuang yang Berdarah Onje
Kisah cinta Raden Sutikna dan Rara Mundhi, serta kelahiran Raden Tepasana, adalah pengingat bahwa sejarah besar tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya bersembunyi dalam ingatan daerah, menunggu seseorang --- seperti Anda yang membaca ini --- untuk kembali merangkainya.
Di Onje, darah raja tetap mengalir, Anyakrapati darah Raja Pajang, Tepasana dan Sunan Kuning darah dari Amangkurat III, membisikkan cerita kekuasaan dan pengasingan, cinta dan kehilangan, yang tak pernah lekang oleh waktu. ===
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI