Jejak Onje dalam Takdir (1): Raden Sutikna, Rara Mundhi dan Lahirnya Raden Tepasana
Sejarah Jawa selalu menyimpan kisah-kisah kecil yang tersembunyi di balik kemegahan keraton dan gemuruh peperangan. Salah satunya adalah kisah Raden Mas Sutikna, yang kelak bergelar Amangkurat III, dengan seorang perempuan Onje bernama Rara Mundhi. Dari cinta mereka di antaranya lahirlah seorang putra, Raden Tepasana, yang kelak meneruskan darah raja dari tanah Onje hingga garisnya mencapai Garendi, atau Sunan Kuning, raja boneka Kartasura.
Raden Mas Sutikna adalah putra Amangkurat II, raja Mataram yang memindahkan pusat kerajaan ke Kartasura. Setelah ayahnya wafat pada 1703, Sutikna naik takhta sebagai Amangkurat III. Namun masa pemerintahannya penuh gejolak sejak awal. Pamannya, Pangeran Puger, yang kelak bergelar Pakubuwana I, juga mengklaim takhta. Pecahlah perang saudara yang memecah belah istana. Pakubuwana I didukung penuh oleh VOC, sementara Amangkurat III bertahan dengan sisa-sisa pasukan setianya.
Namun, jauh dari hiruk-pikuk perebutan kekuasaan itu, Raden Sutikna dikenal sebagai seorang lelaki lembut di luar gelanggang politik. Salah satu kisah cintanya yang jarang dicatat sejarah resmi adalah hubungannya dengan Rara Mundhi, seorang perempuan bangsawan dari Onje, daerah subur di barat kerajaan, kini masuk wilayah Purbalingga - Banyumas.
Onje pada masa itu masih menjadi bagian dari wilayah Kadipaten Wirasaba, sebuah tanah perdikan yang memiliki tradisi bangsawan tersendiri. Keluarga Rara Mundhi konon merupakan salah satu keluarga terkemuka di wilayah Onje dan terbawa ke Kartasura saat Amangkurat II bersama Pangeran Puger menyerang Kadipaten Slinga (1681).
Dalam cerita lisan yang diwariskan di Onje, pada akhirnya Rara Mundhi dikenal sebagai perempuan berparas ayu, cerdas, dan memiliki wibawa yang memikat hati sang raja muda. Hubungan mereka terjalin pada masa Sutikna masih menjadi putra mahkota, ketika ia melihat keluwesan Rara Mundhi di sebuah kegiatan kerajaan yang bukan untuk urusan politik. Cinta mereka salah satunya melahirkan seorang putra yang kemudian dinamai Raden Tepasana. Raden Tepasana lahir dan hidup di tengah pergolakan politik yang menjerumuskan ayahnya ke dalam kekalahan.
Setelah kalah perang melawan Pakubuwana I, Amangkurat III dipaksa menyerah dan diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka) pada 1708 oleh VOC. Ia wafat di pengasingan, jauh dari keraton, tanpa pernah kembali. Sementara itu, Rara Mundhi memilih menetap di wilayah Kartasura, membesarkan Raden Tepasana di kampung yang terasing dari kehidupan politik. Dalam banyak versi babad lisan, Raden Tepasana mewarisi wibawa dan darah keraton ayahnya, meski hidup jauh dari pusat kekuasaan.
Cerita Rara Mundhi, Raden Sutikna, dan Raden Tepasana ini menjadi penting karena dari garis inilah lahir Garendi, atau Sunan Kuning, salah satu tokoh kunci dalam pemberontakan Kartasura tahun 1742--1743. Garendi dikenal sebagai cucu Amangkurat III, tetapi dalam teks resmi tidak pernah dijelaskan siapa tepatnya ayahnya. Tradisi lokal telah menyebut bahwa Garendi adalah putra Raden Tepasana, sehingga ia adalah cucu Rara Mundhi.
Ketika Kartasura dikuasai pemberontak gabungan Jawa-Tionghoa yang dipimpin Raden Mas Said, Garendi diangkat sebagai raja boneka untuk melawan Pakubuwana II. Dalam Babad Tanah Jawi versi terjemahan The Chronicle of Java, Garendi disebut:
"...They then raised to the throne the young prince, grandson of the exiled Amangkurat III, calling him 'Susuhunan Kuning.' The Chinese and Javanese rebels swore allegiance to him, and he reigned for a time over Kartasura as their puppet king."