Secara budaya, inilah gambaran guyub rukun: hidup yang diwarnai saling percaya, bukan saling mencurigai. Runtut, saiyeg saeka kapti---bersatu tujuan dalam harmoni.
Jejeran Sebagai "Visi Negara"
Di sinilah menariknya. Wayang bukan sekadar hiburan, tapi juga dokumen politik-budaya. Jejeran menggambarkan negeri ideal yang diimpikan masyarakat Jawa: negara yang menumbuhkan rasa aman (kerta) dan hidup berkecukupan tanpa ketakutan (rahardja).
Bayangkan jika jejeran itu kita pakai mengukur kondisi negeri kita sekarang. Apakah ternak bisa dibiarkan lepas tanpa takut dicuri? Apakah pejabat menjalankan tugasnya tanpa "lampah cecengilan"? Apakah hukum sungguh-sungguh menyingkirkan durjana, atau justru bersekutu dengannya?
Falsafah yang Relevan
Secara filosofis, frasa "sirna saking lampah durjana juti" adalah puncak ajaran moral dalam potongan jejer ini. Negeri yang raharja bukan sekadar makmur secara ekonomi, tetapi juga bebas dari perilaku jahat dan durhaka.
Dalam falsafah Jawa, tata tentrem dan karta raharja hanya mungkin tercapai bila pemimpin dan rakyat sama-sama mengekang hawa nafsu: tidak tamak, tidak culas, dan tidak serakah. Kehidupan yang selaras dengan dharma akan membuat semua pihak tenteram.
Dengan kata lain, falsafah Jawa mengajarkan bahwa kemakmuran sejati bukanlah akumulasi kekayaan, melainkan tercapainya ketertiban moral dan kerukunan sosial.
Bagi Jawa, kerta rahardja bukan sekadar utopia, melainkan standar kepemimpinan. Seorang raja atau pemimpin sejati bukan hanya membangun jalan dan gedung, tapi memastikan rakyat merasa aman dan tenteram. Jika rakyat masih takut ditipu, masih resah oleh korupsi, atau masih waswas karena kekerasan, berarti negeri itu jauh dari kerta rahardja.
Dari Wayang ke Kehidupan Nyata
Jejeran wayang seakan bertanya kepada kita: apa artinya pembangunan jika rakyat tidak aman? Untuk apa gedung tinggi jika pejabatnya "cecengilan"? Apa gunanya demokrasi jika rakyat tetap takut bersuara?