Pada masa inilah Karanglewas muncul sebagai cabang administrasi. Dari Dhenok hingga Arsayuda, struktur kekuasaan bergerak di antara Pamerden, Karanglewas, dan Pagendholan.
Akhirnya, pusat pemerintahan bergeser ke Purbalingga, yang memiliki lokasi strategis di lembah utama dan berkembang menjadi pusat baru wilayah ini.
Politik di Balik Pergeseran
Langkah membentuk cabang di Karanglewas memperlihatkan strategi politik pasca-Perang Trunajaya dan konflik suksesi:
- Menghapus pusat lama:Â Onje sebagai kadipaten dilebur untuk mencegah munculnya kekuatan baru berbasis Pajang.
- Mengawasi wilayah barat:Â Pamerden dan Karanglewas menjadi simpul kontrol langsung dari pusat Mataram.
- Mempersiapkan transisi: Dari struktur cabang ini kemudian lahir pusat permanen di Purbalingga.
Karanglewas, dengan demikian, adalah tahap antara: bukan kadipaten, tetapi bukan sekadar desa. Sebuah "kantor wilayah" pada masanya.
Onje Menjadi Desa Perdikan
Perubahan ini sekaligus menandai turunnya Onje menjadi desa perdikan kecil, hanya Onje Pekauman. Dari 200 mardika di masa Pajang, jumlahnya menyusut menjadi tigang lawe (75 KK) di era Amangkurat I. Setelah silep, Onje tidak lagi memiliki adipati, hanya perangkat lokal di bawah Ngabehi-Ngabehi yang diangkat dari luar.
Lembah Klawing, Jejak Kekuasaan
Perjalanan Onje dan Karanglewas mencerminkan dinamika kekuasaan Jawa bagian barat pasca-1700:
Kadipaten Onje (Ore-ore, Pajang)
Depopulasi (Amangkurat I)
Silep Kadipaten (Pasca-Pakubuwana I)
Pengawasan Pamerden--Karanglewas (Dipayuda I--III)
Integrasi ke Purbalingga
Baca juga: Onje Lahir dari Laku Kiyai Tepus Rumput dan Titah Sultan