Babad Onje: Tiga Kali Dua Ratus - Membaca Situasi Awal Kadipaten Onje
Oleh: Toto Endargo
Bayangkan sebuah lembah di sisi timur Gunung Slamet, tempat Sungai Klawing mengalir dengan tenang di antara sawah dan pedukuhan. Di sinilah Onje berdiri berabad-abad lalu, kadipaten kecil di dataran subur yang kelak tercatat dalam Punika Serat Sejarah Babad Onje.
Dari naskah itu muncul tiga kata yang berulang: dua ratus. Bukan sekali, tapi tiga kali, seperti gema yang ingin menandai betapa pentingnya wilayah ini.
"Lan sira manira paringi bumi karya rongatus mardika. Lan sira, manira sengkakaken ing luhur sinebut Kiyai Ageng Ore-ore" ----di halaman 35, di jaman masa Pajang
"...Kalikajar pitung dasa, Onje kalihatus." ---di halaman 31, di masa Sultan Pajang
"...Onje mantuk dhateng kotan kalihatus malih." ---di halaman 32, di masa Sultan Agung
Dua Ratus sebagai Batasan Kadipaten
Dalam administrasi Jawa abad ke-16--17, angka kalih atus biasanya merujuk pada cacah, satuan kepala keluarga (KK) yang menjadi dasar pajak dan tenaga kerja. Dengan asumsi 1 cacah = 4 jiwa, 200 cacah berarti 800 orang.
Sebutan rongatus mardika menandakan Onje sejak awal diberi status istimewa: 200 KK bebas pajak, tanah inti kadipaten yang langsung dihadiahkan Sultan Pajang kepada Kiyai Ageng Ore-ore. Angka ini kemungkinan juga sekaligus menjadi batas atas populasi administratif Onje: kadipaten kecil dengan kapasitas tetap 200 KK.