Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Babad Onje: Dari Ngabei Dhenok ke Dipayuda Pagendholan dan Akar Purbalingga

2 Agustus 2025   11:30 Diperbarui: 4 Agustus 2025   11:58 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transisi Penguasa Perdikan Onje - Meta AI 

Babad Onje: Dari Ngabei Dhenok ke Dipayuda Pagendholan dan Akar Purbalingga

Oleh: Toto Endargo

Setelah Kyai Ngabdullah

Pada artikel sebelumnya kita membahas bagaimana Kadipaten Onje runtuh dan berubah menjadi perdikan religius di bawah pimpinan Kyai Ngabdullah. Namun, sejarah tidak berhenti di sana. Punika Serat Sejarah Babad Onje mencatat fase berikutnya: pergantian tokoh-tokoh yang mengelola wilayah, menjaga kesinambungan Onje dalam bentuk baru.

"...nunten seda Kiyai Ngabei Dhenok ketampen dhateng putra Kiyai Ngabei Gabug. Nunten Kiyai Ngabei kondur, nunten ketampen Kiyai Ngabei Cakrayuda asal saking Toyamas, nunten Kiyai Ngabei Cakrayuda kondur, ketampen dhateng Kiyai Ngabei Dipayuda kang saking Pagendholan".  

Ngabei Dhenok Wafat, Muncul Ngabei Gabug

Ketika Kyai Ngabei Dhenok (Dipayuda I dari Pamerden) wafat, kepemimpinan administratif diteruskan oleh putranya, Kyai Ngabei Gabug. Dalam tradisi setempat ia dikenal juga sebagai Dipayuda II (dari Pamerden), ditunjuk dari lingkungan keluarga Yudanegara III. Masa jabatannya relatif singkat, dan catatan babad menyebut ia tidak meninggalkan keturunan yang dianggap cocok untuk meneruskan garis kekuasaan.

Cakrayuda dari Toyamas

Setelah Ngabei Gabug "kondur" (mengundurkan diri atau wafat), tampuk kepemimpinan beralih kepada Kyai Ngabei Cakrayuda yang berasal dari Toyamas. Kehadiran tokoh dari luar wilayah menunjukkan bahwa Onje pasca-kadipaten tidak lagi berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari jaringan perdikan dan pusat administratif kecil di sekitar timur Gunung Slamet. Masa jabatan Cakrayuda pun tidak lama. Dalam babad disebutkan, ia akhirnya "kondur", membuka jalan bagi pergantian berikutnya.

Dipayuda dari Pagendholan

Nama Dipayuda kembali muncul, kali ini disebut sebagai "kang saking Pagendholan". Tokoh ini sering diidentifikasi sebagai Dipayuda III (Arsayuda), yang berasal dari keluarga Arsantaka. Masuknya Arsayuda menandai fase penting: dari sinilah muncul akar sejarah Kabupaten Purbalingga seperti yang kita kenal sekarang.

Pagendholan dan Arsantaka memiliki tradisi pemerintahan lokal yang kuat, dan keterlibatan mereka memperluas pengaruh Onje ke jaringan politik regional. Jika Dipayuda I identik dengan Pamerden, maka Dipayuda III menghubungkan Onje dengan Arsantaka dan kelahiran pusat kekuasaan baru di Purbalingga.

Tabu Nikah dan Rivalitas Keturunan

Keputusan Tumenggung Yudanegara III (Adipati Banyumas) mengangkat menantunya Arsayuda (dari Pagendholan) ternyata bukan hanya langkah administratif. Tradisi lisan Banyumas--Purbalingga menyebut inilah titik awal tabu nikah antar keluarga Banyumas dan Arsantaka. Dengan demikian, bisa dikatakan Yudanegara III adalah tokoh kunci yang---tanpa sadar---memicu dinamika sosial-budaya itu melalui penobatannya.

Catatan tradisi lisan menyebut adanya konflik internal antara garis keturunan Banyumas dan Arsantaka pasca-transisi ini. Rivalitas politik tersebut begitu dalam hingga melahirkan tabu nikah antar keluarga, sebuah cermin bagaimana politik lokal membentuk norma sosial. Dalam konteks sejarah, peristiwa ini menandai pergeseran kekuasaan dari Onje ke pusat baru sambil meninggalkan "bekas luka" dalam jaringan sosial Banyumas--Purbalingga.

Kesinambungan dalam Senyap

Pergantian dari Ngabei Dhenok, Gabug (dari Pamerden), Cakrayuda (dari Banyumas), hingga Dipayuda Pagendholan/Arsayuda menunjukkan bahwa meski Kadipaten Onje hilang sebagai kekuatan politik, jaringannya tidak benar-benar terputus. Wilayah ini tetap dipelihara dalam struktur perdikan, dengan tokoh-tokoh lokal yang menjembatani antara masa kadipaten dan era kabupaten.

Di mata sejarah besar Jawa, nama-nama ini mungkin kecil. Tetapi dalam konteks lokal Banyumas dan Purbalingga, mereka adalah pengikat identitas. Mereka memastikan bahwa Onje tidak larut sepenuhnya dalam arus waktu, melainkan menemukan bentuk baru sebagai desa perdikan dengan akar yang akhirnya menyambung ke pusat administratif modern.

Penutup: Jejak di Balik Nama-Nama

Hari ini, mungkin tak banyak yang mengenal nama Ngabei Dhenok, Ngabei Gabug, Cakrayuda, atau Dipayuda Pagendholan/Arsayuda. Namun dalam naskah babad, mereka bukan sekadar tokoh administratif. Mereka adalah jembatan antara sebuah kadipaten yang hilang, sebuah desa perdikan yang bertahan, dan sebuah kabupaten baru yang lahir dari jejak itu.

Baca juga: Onje Dikerdilkan - Menyisakan Onje Pekauman

Kisah ini bukan hanya penutup fase Onje, tetapi juga pembuka bagi narasi lebih luas tentang bagaimana pusat kekuasaan berpindah, bergeser, dan meninggalkan jejaknya dalam struktur sosial Banyumas--Purbalingga hingga hari ini. ===

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun