Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Musikalisasi Macapat dalam Karya Gombloh: Menjembatani Tradisi dan Modernitas

3 Juli 2025   21:53 Diperbarui: 3 Juli 2025   22:03 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musikalisasi Macapat, Gombloh - Wikipedia

Musikalisasi Macapat dalam Karya Gombloh: Menjembatani Tradisi dan Modernitas

Oleh: Toto Endargo

Dalam lanskap musik Indonesia yang begitu luas dan beragam, nama Gombloh hadir sebagai sosok yang tak sekadar musisi, melainkan penyair jalanan, filsuf dalam lirik, dan penyambung lidah kebudayaan.

Ia dikenal sebagai seniman yang tak gentar menyuarakan hal-hal yang sunyi---hal-hal yang luput dari perhatian arus utama, namun sesungguhnya mengandung denyut nadi bangsa.

Salah satu karyanya yang paling mencolok dalam hal ini adalah lagu "Sekar Mayang - Hong Wilaheng" (1981), sebuah tembang kontemplatif yang menyusupkan unsur macapat ke dalam bingkai musik modern. Lagu ini bukan sekadar karya, melainkan jembatan antara zaman.

Macapat dan Serat Wedhatama: Warisan yang Menggema

"Sekar Mayang - Hong Wilaheng" berakar dari tembang Pangkur, salah satu jenis macapat---sistem metrum tradisional dalam puisi Jawa. Gombloh mengangkat bait dari karya sastra Jawa klasik, Serat Wedhatama, yang ditulis oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, seorang pujangga dan pemimpin spiritual di abad ke-19. Bait (pada 1) yang dikutip berbunyi:

  • Mingkar-mingkuring angkara, akarana karenan mardi siwi, Sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, Mrih kretarta pakartining ilmu luhung, Kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji.

Bait ini menyiratkan ajaran moral dan spiritual---ajak untuk menjauh dari angkara murka, meniti jalan pengetahuan luhur, dan meneguhkan agama sebagai landasan hidup. Bait berikutnya (pada 12)

  • Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning jiwangga, yen mengkono kena sinebut wong sepuh, lire sepuh sepi hawa, awas roroning atunggil

Tertulis dalam pola macapat Pangkur, bait tersebut bukan hanya indah secara bentuk, tetapi juga sarat pesan etis. Dalam tradisi Jawa, tembang seperti ini bukan sekadar hiburan, melainkan media pendidikan batin---sejenis filsafat yang dinyanyikan.

Gombloh dan Spiritualitas Bunyi

Apa yang dilakukan Gombloh bukan hanya menyanyikan ulang teks klasik, tetapi menanamkan roh baru di dalamnya. Ia memilih untuk tidak membawakan tembang ini secara konvensional, melainkan membingkainya dengan warna musik kontemporer yang hening dan meditatif. Denting musiknya tidak gaduh, namun justru menyisakan ruang hening untuk tafakur. Dalam balutan nada-nada yang lambat dan atmosferik, lirik Wedhatama melayang seperti mantra.

Inilah bentuk musikalisasi macapat yang tidak ortodoks---ia tidak tunduk pada pakem, tetapi tetap setia pada semangat. Gombloh menciptakan ruang baru bagi teks lama untuk berbicara dengan cara yang bisa didengar oleh generasi kini. Dan dalam keheningan yang ia hadirkan, kita sebagai pendengar seolah diajak untuk ikut menyelami---bukan hanya memahami, tetapi juga merasakan.

Melestarikan lewat Musik: Perjumpaan Tradisi dan Populer

Di tengah arus globalisasi dan gempuran budaya populer yang terus menggulung identitas lokal, karya seperti "Sekar Mayang - Hong Wilaheng" menjadi semacam tameng dan lentera. Ia menunjukkan bahwa musik bukan hanya soal selera atau pasar, tetapi bisa menjadi sarana transmisi budaya. Gombloh memanfaatkan media yang akrab di telinga anak muda---musik populer---untuk membawa nilai-nilai luhur dari tradisi ke dalam kesadaran kolektif hari ini.

Bukan perkara mudah mengangkat karya sastra klasik ke panggung musik modern tanpa kehilangan ruhnya. Namun Gombloh berhasil menempuh jalan tengah: menjaga kedalaman makna sambil membuka jendela baru bagi para pendengar yang mungkin asing dengan dunia macapat atau Serat Wedhatama. Di tangan Gombloh, tembang Pangkur bukan sekadar puisi lama, melainkan suara yang hidup kembali.

Catatan Akhir: Gombloh sebagai Jembatan Zaman

Dalam konteks ini, Gombloh bukan sekadar musisi, melainkan penjaga api kecil peradaban. Ia tak hanya bicara tentang kemiskinan, alam, dan cinta dalam lagu-lagu lainnya, tetapi juga tentang warisan batin dan etika Jawa yang hampir tenggelam. Karya seperti "Sekar Mayang -- Hong Wilaheng" mengingatkan kita bahwa modernitas tidak harus menghapus tradisi, tetapi justru bisa memperkuatnya bila keduanya saling menyapa.

Sebagai pengamat amatiran, saya melihat bahwa musikalisasi macapat ala Gombloh adalah contoh konkret bagaimana warisan sastra bisa hidup terus, tidak beku di naskah kuno, tetapi bernapas di ruang dengar kontemporer. Barangkali di situlah letak keindahan sejatinya: ketika sesuatu yang tua tidak usang, dan yang modern tidak melupakan asal-usulnya. ===

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun