Macan di Keraton Cirebon:Â Simbol Kekuasaan, Spirit Leluhur, dan Kebijaksanaan Budaya
oleh: Toto Endargo
Macan: Antara Kekuasaan dan Ketakziman
Macan atau harimau, dalam kebudayaan Nusantara, kerap diposisikan sebagai sosok yang ambivalen: buas sekaligus sakral, ditakuti sekaligus dikagumi. Dalam narasi budaya Cirebon, terutama di lingkungan keraton, macan bukan sekadar representasi hewan liar, melainkan lambang kekuasaan yang bijak, penjaga spiritual, dan penanda identitas kerajaan. Ia hadir bukan hanya dalam bentuk patung atau lukisan, tetapi juga sebagai simbol yang menyatu dengan filosofi dan sejarah Cirebon.
Macan Putih di Gerbang Keraton Kanoman
Ketika memasuki Keraton Kanoman, sosok Macan Putih langsung menyapa di depan dinding putih gerbang utama. Sosok ini berdiri tegas dan gagah, tidak dalam posisi menyerang, tetapi berjaga. Penempatan ini bukan kebetulan. Macan menjadi simbol kehormatan, penjaga nilai-nilai luhur, dan perlambang kekuatan batin raja maupun rakyat. Tak jauh dari patung tersebut terdapat tumpukan batu karang hitam, sebagai lambang kekokohan dan keteguhan pendirian. Dua simbol ini---macan dan batu karang---dihadirkan berdampingan untuk memperlihatkan harmoni antara kekuatan lahir dan batin.
Macan Ali: Kaligrafi yang Menjadi Bendera
Salah satu artefak paling memikat di Museum Keraton Kanoman adalah relief ukiran kayu yang menggambarkan seekor macan berdiri di atas batu karang, di bawah pohon. Uniknya, tubuh macan ini sejatinya adalah kaligrafi berlafal syahadat: L ilha ill Allh, Muhammadur Raslullh. Kaligrafi ini menjelma dalam bentuk macan, dikenal sebagai Macan Ali atau Macan Luhur. Dalam budaya Cirebon, Macan Ali diangkat sebagai lambang spiritual dan dijadikan bendera kebesaran kesultanan. Bendera tersebut berwarna dasar hijau dengan macan berwarna kuning, melambangkan sifat rahman dan rahim, dua sifat utama Tuhan yang menjadi pegangan dalam kepemimpinan Islam Cirebon.