Mohon tunggu...
Toriq Furqon Al Mujaddid
Toriq Furqon Al Mujaddid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pertahanan Republik Indonesia

Mahasiswa Magister Program Studi Ekonomi Pertahanan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Visi Indonesia untuk Laut China Selatan: Unity Harmony Oceanic Ventures, Pendorong Kemajuan Ekonomi dan Stabilitas Kawasan

20 April 2024   13:20 Diperbarui: 20 April 2024   13:21 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dibuat oleh Penulis (2024)

Pendahuluan

Laut China Selatan memegang peranan krusial sebagai salah satu jalur maritim paling strategis dan vital di dunia, dengan lebih dari sepertiga perdagangan global, yang bernilai triliunan dolar, melintasi perairan ini setiap tahunnya. Kawasan ini merupakan jalur utama untuk transportasi minyak, di mana sekitar 80% minyak yang dikonsumsi oleh negara-negara Asia Timur, termasuk China dan Jepang, melalui perairan ini (Mamchii, 2023). Selain itu, Laut China Selatan juga merupakan rute kritis untuk perdagangan barang-barang manufaktur dan komoditas lainnya, menjadikannya sebuah titik penting bagi ekonomi global dan stabilitas regional.

Di samping perannya dalam perdagangan, Laut China Selatan juga kaya akan sumber daya alam. Berdasarkan laporan U.S. Energy Information Administration (2024) bahwa diperkirakan Laut China Selatan menyimpan cadangan minyak yang cukup besar, dengan estimasi sekitar 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam. Kekayaan hayati laut di kawasan ini juga luar biasa, dengan beberapa spesies ikan dan habitat terumbu karang yang mendukung keanekaragaman hayati dan perikanan yang berkelanjutan. Namun, potensi ini juga membawa kerumitan geopolitik, di mana terdapat beberapa negara yang bertumpang tindih klaim wilayah atas sebagian atau seluruh Laut China Selatan, seperti China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Klaim-klaim tersebut seringkali menyebabkan ketegangan dan konflik di kawasan, yang jika tidak dikelola dengan baik, dapat mengancam stabilitas regional dan mengganggu arus perdagangan maritim global.

Tabel 1. Cadangan Laut China Selatan menurut negara, tahun 2023

Negara


Cadangan terbukti dan terkira minyak (juta barel)

Cadangan terbukti dan terkira  gas alam (triliun kaki kubik)

Indonesia

44

1.1

Filipina

17

0,4

Malaysia

1.284

28.9

Brunei

299

1.9

China

1.423

5.7

Vietnam

530

40.3

Total

3.596

40.3

Sumber : Rystad Energy, CubeBrowser. U.S. EIA (2024)

Permasalahan utama yang muncul di Laut China Selatan adalah tumpang tindih klaim wilayah oleh negara-negara di sekitarnya, termasuk China, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Konflik ini tidak hanya melibatkan pertikaian atas batas-batas teritorial, tetapi juga atas akses dan kontrol terhadap sumber daya alam yang kaya. Contohnya, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang ditetapkan oleh setiap negara sering kali saling bertabrakan, menimbulkan ketegangan politik serta konfrontasi militer (Global Conflict Tracker, 2024). Misalnya, insiden tahun 2014 di mana kapal penjaga pantai China menggunakan selang air untuk mengganggu aktivitas pengeboran minyak Vietnam, menunjukkan betapa tingginya risiko konflik yang bisa berkembang menjadi lebih serius. Klaim oleh China yang dipetakan oleh "Sepuluh Garis Putus" mencakup sekitar 90% wilayah Laut China Selatan, seringkali dianggap kontroversial oleh negara-negara lain serta ditantang secara internasional, termasuk oleh keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional pada tahun 2016 yang mendukung klaim Filipina (U.S. Energy Information Administration, 2024).

Di samping konflik teritorial, Laut China Selatan juga menghadapi masalah eksploitasi berlebihan sumber daya alam dan praktik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan. Penangkapan ikan secara besar-besaran dan sering ilegal telah menyebabkan penurunan drastis stok ikan lokal, merugikan ekonomi negara-negara pesisir yang bergantung pada perikanan. Sementara itu, aktivitas eksploitasi minyak dan gas bumi sering kali dilakukan tanpa pertimbangan yang memadai terhadap dampak lingkungan, seperti pencemaran akibat tumpahan minyak. Ancaman keamanan maritim seperti pembajakan, penyelundupan, dan pencemaran lingkungan menambah kompleksitas permasalahan di kawasan ini. Kurangnya koordinasi dan kerjasama antarnegara dalam mengelola sumber daya secara berkelanjutan dan mengatasi ancaman keamanan juga menjadi hambatan besar dalam mencapai solusi yang efektif dan adil untuk semua pihak yang terlibat (Hessen, 2023). Menemukan jalur diplomasi dan kerjasama regional yang efektif merupakan kunci untuk menstabilkan situasi dan mengoptimalkan manfaat ekonomi Laut China Selatan bagi seluruh kawasan.

Mengingat peran strategis Laut China Selatan sebagai jalur perdagangan dan transportasi yang vital, di mana lebih dari $3 triliun perdagangan global melintasi perairan ini setiap tahunnya, menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan ini menjadi prioritas utama untuk keamanan maritim dan kelancaran arus perdagangan internasional (Taufani, 2023). Menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan ini sangat penting bagi keamanan maritim dan kelancaran arus perdagangan internasional. Diplomasi yang efektif dan kerja sama regional sangat penting untuk memastikan pengelolaan sumber daya berkelanjutan dan stabilitas regional. Indonesia sebagai negara non-claimant turut berperan dalam sengketa Laut China Selatan. Negara ini telah menganjurkan strategi diplomatik untuk menjaga stabilitas di kawasan, khususnya dalam konteks Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) (Nugraha, 2021). Forum ASEAN menyediakan platform dialog antara negara-negara yang terlibat, termasuk Tiongkok, untuk menemukan solusi damai terhadap konflik dan mendorong kepatuhan terhadap hukum internasional (Taufani, 2023).

Keamanan yang terjaga memungkinkan pencegahan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan serta membantu menjaga kelestarian lingkungan laut yang kritis bagi keberlanjutan ekosistem dan ekonomi maritim regional. Dengan ketegangan yang meningkat akibat klaim wilayah yang tumpang tindih dan insiden seperti pengejaran kapal nelayan oleh penjaga pantai negara lain, urgensi untuk menghindari konflik terbuka semakin mendesak. Sejalan dengan itu, peningkatan kerjasama antar negara di kawasan ini, yang dianjurkan oleh berbagai lembaga internasional dan dipertegas dalam putusan Pengadilan Arbitrase Internasional tahun 2016 yang mendukung klaim Filipina terhadap China, diperlukan untuk menciptakan kerangka kerja multilateral yang menjamin semua pihak dapat mengelola dan memanfaatkan sumber daya secara adil dan berkelanjutan, serta mengamankan jalur laut yang esensial ini bagi ekonomi global.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan terletak di posisi strategis antara Samudra Pasifik dan Hindia, Indonesia memegang peran penting dalam dinamika Laut China Selatan. Walaupun secara resmi tidak terlibat dalam klaim teritorial yang tumpang tindih di Laut China Selatan, Indonesia tetap terpengaruh oleh ketegangan di kawasan tersebut, khususnya di sekitar perairan Natuna yang berdekatan dengan wilayah klaim "Sepuluh Garis Putus" China. Nugraha (2021) dalam penelitiannya mengemuakakan dengan potensi besar sebagai mediator, Indonesia telah berusaha mempromosikan dialog dan kerja sama regional melalui forum-forum seperti ASEAN, untuk menciptakan solusi damai atas konflik yang ada. Visi Indonesia untuk menciptakan lingkungan yang aman, damai, dan berkelanjutan di Laut China Selatan tercermin dalam kebijakan luar negerinya yang menekankan diplomasi proaktif dan kerjasama multilateral. Melalui pendekatan ini, Indonesia berharap dapat membantu memperkuat keamanan maritim dan stabilitas regional, yang secara langsung mendukung kelancaran perdagangan internasional serta pelestarian lingkungan maritim di salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia ini.

Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki dan menganalisis secara komprehensif potensi ancaman konflik di Laut China Selatan terhadap kedaulatan dan keamanan maritim Indonesia. Mengingat posisi geografis Indonesia yang strategis, terletak di antara dua samudra besar dan berdekatan dengan salah satu jalur perdagangan paling vital di dunia, studi ini akan mengkaji implikasi dari ketegangan regional yang berkelanjutan serta klaim teritorial yang tumpang tindih, terutama yang berkaitan dengan wilayah Natuna. Penelitian ini akan mempergunakan analisis geopolitik dan keamanan maritim, diiringi dengan evaluasi terhadap kebijakan luar negeri dan strategi pertahanan Indonesia. Tujuannya adalah untuk membangun sebuah rekomendasi yang dapat mendukung formulasi kebijakan yang proaktif dan responsif oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi dinamika yang berubah dan menjamin pengelolaan sumber daya nasional yang berkelanjutan serta pemeliharaan kedaulatan negara.

Kontribusi dari penelitian ini terletak pada pengembangan kerangka kerja strategis untuk Indonesia dalam menghadapi dan mengantisipasi eskalasi konflik di Laut China Selatan. Dengan memfokuskan pada analisis multidisiplin yang mengintegrasikan aspek hukum internasional, keamanan maritim, dan diplomasi regional, studi ini berupaya mengidentifikasi langkah-langkah kebijakan yang optimal untuk memperkuat posisi Indonesia tidak hanya sebagai negara yang berdaulat tetapi juga sebagai pemain kunci dalam stabilitas regional. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi pembuat kebijakan untuk mengembangkan kerjasama regional lebih lanjut, mengoptimalkan penggunaan diplomasi multilateral dalam menyelesaikan sengketa, dan meningkatkan kapasitas pertahanan nasional untuk menjaga kepentingan teritorial serta ekonomi Indonesia. Selanjutnya, dengan berbasis pada data aktual dan relevan, penelitian ini juga akan menyoroti pentingnya mempertahankan ekosistem maritim yang sehat sebagai bagian dari keamanan nasional dan stabilitas ekonomi global.Top of Form

Pentingnya Laut China Selatan secara Geostrategis

Laut China Selatan memainkan peran yang sangat krusial sebagai arteri bagi perdagangan maritim global, dengan lebih dari sepertiga dari total perdagangan dunia, yang diestimasikan mencapai nilai triliunan dolar, melintas melalui perairan ini setiap tahun, sesuai dengan data dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 2022. Moulton menjelaskan kegiatan perdagangan yang intensif ini tidak hanya vital bagi ekonomi regional Asia, tetapi juga bagi ekonomi global, menghubungkan pasar utama di Asia, Eropa, dan Amerika. Keamanan dan kestabilan Laut China Selatan menjadi krusial dalam memastikan bahwa jalur perdagangan ini tetap aman dan terbuka, yang pada gilirannya menunjang pertumbuhan ekonomi global dan kerjasama internasional (Moulton, 2022).

Di samping perannya dalam perdagangan global, Laut China Selatan juga sangat kaya akan sumber daya alam, terutama cadangan minyak dan gas alam yang besar. Menurut laporan U.S. Energy Information Administration (EIA) pada tahun 2013, diperkirakan terdapat sekitar 11 miliar barel cadangan minyak dan sekitar 190 triliun kaki kubik cadangan gas alam. Potensi ekonomi dari sumber daya hidrokarbon ini sangat signifikan, memikat berbagai negara untuk memanfaatkan sumber daya tersebut, yang sayangnya juga sering menjadi sumber konflik teritorial di antara negara-negara pesisir. Pengelolaan dan eksploitasi sumber daya ini membutuhkan kerjasama internasional dan pengaturan yang hati-hati untuk mencegah dampak negatif terhadap stabilitas regional dan lingkungan maritim.

Selain itu, Laut China Selatan juga merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati yang kaya, yang mencakup lebih dari 3.365 spesies ikan dan 500 spesies terumbu karang, menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia pada tahun 2019. Keanekaragaman hayati ini tidak hanya penting dari segi ekologis, memberikan habitat bagi berbagai spesies yang beberapa di antaranya adalah langka dan terancam punah, tetapi juga vital untuk keberlanjutan industri perikanan dan pariwisata di kawasan. Kelestarian sumber daya hayati ini memerlukan pengelolaan yang berkelanjutan dan perlindungan lingkungan yang efektif untuk menghindari degradasi dan menjaga kesehatan ekosistem laut untuk generasi mendatang.Top of Form

Permasalahan Utama dan Ancaman Konflik di Laut China Selatan

Laut China Selatan merupakan arena konflik teritorial yang melibatkan klaim tumpang tindih dari China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan, yang semuanya mendeklarasikan kedaulatan atas sebagian atau seluruh wilayah laut ini. Konflik ini bersumber dari kepentingan ekonomi dan strategis di kawasan yang strategis dan kaya sumber daya. Menurut Center for Strategic and International Studies, ketegangan ini sering kali mengakibatkan insiden di laut, seperti kapal penjaga pantai yang menghalangi aktivitas nelayan atau eksplorasi minyak dan gas dari negara lain, menimbulkan risiko terjadinya konfrontasi yang lebih besar.

Eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam merupakan masalah serius di Laut China Selatan, di mana penangkapan ikan ilegal dan praktik yang tidak berkelanjutan telah merusak stok ikan dan ekosistem laut. Laporan dari Food and Agriculture Organization menunjukkan bahwa overfishing di kawasan ini tidak hanya mengancam keberlanjutan sumber daya hayati, tetapi juga mengurangi ketahanan pangan bagi jutaan orang yang bergantung pada perikanan sebagai sumber penghidupan utama mereka.

Peningkatan aktivitas militer di Laut China Selatan juga menambah ketegangan dan meningkatkan ancaman konflik terbuka. Menurut laporan dari International Institute for Strategic Studies, berbagai negara telah memperkuat kehadiran militer mereka di kawasan ini, dengan membangun dan memperkuat basis militer di pulau-pulau yang diperebutkan serta meningkatkan frekuensi patroli laut dan udara. Langkah-langkah ini, meskipun bertujuan untuk mengamankan klaim teritorial, sering kali dilihat sebagai tindakan provokatif oleh negara-negara lain yang memiliki klaim bersaing.

Pencemaran lingkungan laut menjadi permasalahan lain yang mengancam Laut China Selatan. Aktivitas eksploratif dan ekstraktif, seperti pengeboran minyak dan gas, serta pembuangan limbah dari kapal dan aktivitas industri, telah menyebabkan kerusakan pada habitat laut dan mengancam keanekaragaman hayati. Studi oleh Marine Pollution Bulletin menunjukkan bahwa polutan seperti minyak bumi dan bahan kimia dari operasi industri telah terdeteksi dalam konsentrasi yang tinggi di beberapa area, menimbulkan efek buruk pada kehidupan laut dan kesehatan manusia di kawasan pesisir.

Ancaman Konflik di Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia

Meskipun Indonesia tidak memiliki klaim teritorial langsung di Laut China Selatan, negara ini memiliki kepentingan strategis dalam menjaga stabilitas kawasan karena kedekatannya dengan perairan vital Indonesia, seperti perairan Natuna yang berdekatan dengan wilayah klaim "Sepuluh Garis Putus" dari China (U.S. Energy Information Administration, 2024). Indonesia secara aktif terlibat dalam dialog regional untuk memastikan bahwa stabilitas kawasan terjaga, mengingat potensi dampak konflik di Laut China Selatan terhadap keamanan nasional dan stabilitas regional, seperti yang terlihat dalam upaya peningkatan patroli dan kerja sama keamanan maritim di kawasan ASEAN (Nugraha, 2021).

Konflik terbuka di Laut China Selatan dapat mengancam jalur pelayaran internasional yang melewati perairan Indonesia, terutama di Selat Malaka, salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia yang menjadi penghubung antara Samudra Hindia dan Pasifik. Global Conflict Tracker (2024) menegaskan gangguan dalam jalur ini dapat berdampak serius terhadap arus perdagangan internasional, dan secara langsung mengganggu ekonomi Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan perekonomian yang sebagian besar bergantung pada sektor maritim, kestabilan di Laut China Selatan sangat penting untuk menjaga kelancaran ekspor dan impor, serta stabilitas harga barang-barang pokok di Indonesia.

Kegiatan militer yang meningkat di Laut China Selatan juga menimbulkan kekhawatiran akan pelanggaran kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinennya. Insiden seperti kapal-kapal asing yang memasuki perairan ZEE Indonesia tanpa izin, yang telah beberapa kali dihadapi oleh Angkatan Laut Indonesia, berpotensi memicu konfrontasi. Situasi ini membutuhkan diplomasi yang cermat dan penegakan hukum maritim yang tegas untuk mencegah pelanggaran kedaulatan dan mempertahankan integritas teritorial Indonesia.

Selanjutnya, pencemaran lingkungan laut akibat konflik dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan di Laut China Selatan dapat merusak ekosistem laut di perairan Indonesia, yang kaya akan keanekaragaman hayati. Aktivitas seperti pengeboran minyak ilegal, pembuangan limbah industri, dan penangkapan ikan dengan cara yang merusak, seperti penggunaan bom ikan atau cyanide, berdampak negatif pada habitat terumbu karang dan populasi ikan. Kerusakan ini tidak hanya mengancam keanekaragaman biologis, tetapi juga mata pencaharian nelayan lokal dan industri pariwisata maritim yang bergantung pada keindahan alam dan keanekaragaman hayati laut Indonesia.

Visi Indonesia melalui Unity Harmony Oceanic Ventures

Unity Harmony Oceanic Ventures merupakan konsep visioner dari Indonesia yang bertujuan untuk memperkuat kerjasama maritim yang inklusif, damai, dan berkelanjutan di Laut China Selatan (Al-Mujaddid, 2024). Al-Mujaddid juga menegaskan melalui konsep ini, Indonesia mengajak semua negara yang terlibat dan memiliki kepentingan di kawasan ini untuk berkolaborasi dalam menciptakan stabilitas dan kemajuan ekonomi yang berkelanjutan. Gagasan ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk mempromosikan dialog dan kerjasama antarnegara di kawasan yang seringkali tegang dan konfliktual ini, dengan harapan bahwa pendekatan kolaboratif dapat meredakan ketegangan dan membangun kepercayaan di antara negara-negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan.

Visi Unity Harmony Oceanic Ventures didasarkan pada beberapa prinsip utama yang konsisten dengan norma-norma internasional dan kepentingan regional. Prinsip-prinsip ini termasuk penghormatan yang ketat terhadap hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang menetapkan pedoman jelas tentang hak dan kewajiban negara di lautan. Selain itu, visi ini juga menekankan pentingnya kerjasama regional dalam mengelola sumber daya alam yang berkelanjutan dan mengembangkan ekonomi maritim yang inklusif, yang memungkinkan semua pihak untuk merasakan manfaat dari pertumbuhan dan keamanan yang stabil di kawasan ini. Melalui pendekatan yang memprioritaskan diplomasi dan konsensus, Indonesia berharap untuk menginspirasi transformasi yang positif dalam cara negara-negara di Laut China Selatan mengelola konflik dan potensi mereka.

Sebagai negara maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi strategis dan kapasitas unik untuk bertindak sebagai mediator dan penyedia solusi dalam mengatasi tantangan di Laut China Selatan. Melalui Unity Harmony Oceanic Ventures, Indonesia berkomitmen untuk memanfaatkan peran ini secara maksimal, memfasilitasi dialog dan kerja sama yang bisa mengurangi konflik dan meningkatkan keamanan maritim (Al-Mujaddid, 2024). Konsep ini tidak hanya menunjukkan kepemimpinan Indonesia dalam diplomasi maritim, tetapi juga keinginannya untuk memastikan bahwa Laut China Selatan tetap sebagai zona damai dan makmur yang mendorong kerjasama ekonomi dan keamanan, serta pelestarian lingkungan bagi generasi mendatang.

Strategi dan Rekomendasi Implementasi

Untuk memperkuat kedaulatan dan yurisdiksi wilayah perairannya, Indonesia harus memprioritaskan peningkatan kapasitas dan kehadiran maritimnya di Laut China Selatan. Hal ini dapat mencakup pembangunan fasilitas patroli maritim yang lebih modern, peningkatan kapabilitas Angkatan Laut dengan peralatan canggih, dan penempatan reguler pasukan dan peralatan di wilayah yang strategis seperti Natuna. Misalnya, perluasan kapabilitas surveillance dengan teknologi drone atau satelit dapat membantu pemantauan yang efektif atas aktivitas ilegal dan memastikan respons yang cepat terhadap setiap pelanggaran kedaulatan. Berikut adalah beberapa strategi dan rekomendasi yang dapat diimplementasikan:

  • Mengintensifkan diplomasi dan keterlibatan aktif dalam forum-forum regional dan internasional adalah strategis untuk memastikan bahwa Indonesia memainkan peran kunci dalam pembicaraan mengenai pengelolaan Laut China Selatan. Partisipasi aktif di ASEAN, serta kerja sama dengan organisasi seperti United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dapat mendukung upaya Indonesia untuk mengadvokasi solusi damai dan menegakkan norma-norma internasional, sehingga memperkuat posisi negara dalam negosiasi terkait masalah maritim.
  • Mendorong pembentukan kerangka pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berbasis konservasi lingkungan laut di Laut China Selatan juga penting. Hal ini bisa mencakup kerja sama dengan negara-negara tetangga untuk mengimplementasikan praktik penangkapan ikan yang bertanggung jawab, menerapkan kuota penangkapan yang berbasis ilmiah, dan menjaga ekosistem laut melalui pembentukan kawasan konservasi maritim. Contoh konkret adalah kerjasama antarnegara dalam penelitian bersama untuk mengelola stok ikan dan habitatnya yang mengalami tekanan.
  • Peningkatan kerjasama keamanan maritim dengan negara-negara di kawasan Laut China Selatan juga krusial untuk menjaga stabilitas dan mencegah konflik terbuka. Ini bisa meliputi perjanjian bilateral dan multilateral yang memperkuat kerja sama dalam patroli bersama, latihan militer bersama, serta pertukaran informasi intelijen tentang aktivitas ilegal di laut. Pendekatan ini tidak hanya akan memperkuat keamanan regional tetapi juga membangun kepercayaan di antara negara-negara yang berbeda pandangan.

Akhirnya, mengembangkan infrastruktur maritim dan konektivitas antar negara di Laut China Selatan dapat memberikan dukungan yang kuat untuk pembangunan ekonomi maritim yang inklusif. Proyek-proyek seperti peningkatan pelabuhan, pembangunan jalur pelayaran baru, dan peningkatan fasilitas logistik akan mempermudah perdagangan dan akses pasar antar negara di kawasan tersebut. Kerja sama dalam infrastruktur ini dapat menjadi dasar untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menguntungkan semua pihak di kawasan Laut China Selatan.

Penutup dan Rekomendasi Strategi Akhir

Laut China Selatan berperan penting dalam keamanan, ekonomi, dan kedaulatan maritim Indonesia, mencakup nilai yang sangat strategis dalam menjaga kestabilan regional dan pengembangan ekonomi. Untuk melindungi kepentingan ini, Indonesia memerlukan pendekatan komprehensif yang mengintegrasikan diplomasi yang efektif, kerjasama regional yang erat, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dan penguatan kapasitas serta kehadiran maritim yang signifikan. Dengan mengedepankan diplomasi dan kerjasama, Indonesia tidak hanya memperkuat posisinya dalam negosiasi regional tetapi juga mempromosikan solusi damai yang mendukung stabilitas dan kemakmuran bersama.

Sejalan dengan Visi Unity Harmony Oceanic Ventures, Indonesia harus mengambil langkah konkret untuk memperkuat kerjasama keamanan maritim dan pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab di Laut China Selatan. Membangun kerangka kerja pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, meningkatkan kerjasama keamanan melalui patroli bersama dan latihan militer, serta mengembangkan infrastruktur maritim yang memadai akan mendukung visi ini. Tindakan-tindakan ini tidak hanya akan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin regional dalam diplomasi maritim, tetapi juga sebagai pelopor dalam pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab dan pembangunan ekonomi yang inklusif di kawasan Laut China Selatan. Konsistensi dalam menjalankan strategi ini akan memberikan dampak positif jangka panjang terhadap keamanan dan pertumbuhan ekonomi, memperkaya Indonesia dan tetangganya di Asia Tenggara.

Referensi

Al-Mujaddid, T. F. (2024). Unity Harmony Oceanic Ventures sebagai Penyeimbang Kekuatan dan Pendorong Kemajuan Ekonomi di Laut China Selatan. Kompasiana.com. https://www.kompasiana.com/toriqfurqonal-mujaddid5036/661f62281470932e393bb642/unity-harmony-oceanic-ventures-sebagai-penyeimbang-kekuatan-dan-pendorong-kemajuan-ekonomi-di-laut-shina-selatan?page=2

Global Conflict Tracker. (2024). Territorial Disputes in the South China Sea. Global Conflict Tracker. https://www.cfr.org/global-conflict-tracker/conflict/territorial-disputes-south-china-sea

Hessen, D. (2023). Scientific collaboration could ease tensions in the South China Sea. East Asia Forum. https://eastasiaforum.org/2023/11/07/scientific-collaboration-could-ease-tensions-in-the-south-china-sea/

Mamchii, O. (2023). Strategic Importance of the South China Sea . Best Diplomats. https://bestdiplomats.org/why-is-the-south-china-sea-important/

Moulton, T. (2022). Preventing War in the South China Sea. Journal of Indo-Pacific Affairs, 204--209. https://media.defense.gov/2022/Jul/31/2003046333/-1/-1/1/10%20MOULTON_COMMENTARY.PDF

Nugraha, O. N. R. A. C. (2021). Geopolitik Laut China Selatan: Strategi Diplomasi Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Politik Wilayah ASEAN. Jurnal Lemhannas RI, 9(4), 25--42. https://doi.org/10.55960/jlri.v9i4.414

Taufani, M. R. I. (2023). Laut China Selatan Simpan Harta Karun, Pantas Sampai Rebutan! CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/research/20230906125736-128-469851/laut-china-selatan-simpan-harta-karun-pantas-sampai-rebutan

U.S. Energy Information Administration. (2024). Regional Analysis Brief: South China Sea. www.eia.gov

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun