Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dan Dosen Kunci Keberhasilan Pengajaran dan Pendidikan Sastra (Daring)

21 Agustus 2021   13:57 Diperbarui: 21 Agustus 2021   14:21 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam siaran pers yang dilansir beberapa media massa nasional, saya kutip dari Kompas.com Sabtu (14/8/2021), Pusat Penelitian dan Kebijakan Kemendikbud Ristek telah melakukan survei pelaksanaan pembelajaran daring atau belajar dari rumah (BDR) selama tahun 2020. Hasil survei ternyata sesuai dengan apa yang dikhawatirkan berbagai pihak selama ini. Pasalnya, tanpa pandemi corona saja, pendidikan di Indonesia sudah dan terus terpuruk. Sehingga, saat pandemi corona, peserta didik harus belajar dengan cara daring atau BDR, maka tercerminlah kompetensi para pengajarnya dari hasil survei. Maka, tidak heran bila ternyata 85,90 persen peserta didik (SD) dalam belajar daring hanya sekadar mengerjakan soal-soal dari guru.

Pusat Penelitian dan Kebijakan Kemendikbud Ristek pun bersuara bahwa metode pembelajaran seperti ini tidak interaktif, menurunkan interaksi peserta didik dengan guru, peserta didik kesulitan memahami pelajaran, dapat menurunkan motivasi belajar. Melansir akun Instagram Direktorat SD Kemendikbud Ristek, Jumat (13/8/2020), hasil survey lengkap Kemendikbud Ristek menyoal belajar daring ini pun tambah mencengangkan.  Bagaimana tidak, selain ditemukan 85,90 persen peserta didik hanya (1) Mengerjakan soal-soal dari guru, hasil lainnya adalah (2) Belajar dari TV: 62,70 persen, (3) Belajar dari buku teks pelajaran: 53,40 persen, (4) Belajar interaktif bersama guru: 36,60 persen, (5) Belajar dari sumber belajar digital: 33,90 persen, (6) Membuat proyek sederhana: 20,30 persen, (7) Belajar dari aplikasi sumber belajar daring: 18,20 persen, dan (8) Belajar dari buku non-teks pelajaran: 12,40 persen.

Dari hasil survei tersebut, terdeskripsi dengan jelas, bagaimana peserta didik akan nyaman dan mudah memahami materi pelajaran. Padahal bisa saja guru meminta peserta didik berkolaborasi dengan orangtua untuk mengoptimalkan aktivitas di rumah sebagai bagian dari pembelajaran. Dapat pula guru menciptakan penugasan yang kreatif dan inovatif melalui  berbagai model proyek, seperti Project Based Learning misalnya. Dan, mengoptimalkan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran, serta mengoptimlakan dirinya sebagai subyek dan  obyek pembelajaran untuk keteladanan demi pengembangan diri peserta didik, lebih dari sekadar paham materi pelajaran, namun dapat mengaplikasikan dalam kehidupan nyata.

(3) Daring jangan darting (darah tinggi)

Akibat berbagai persoalan menyangkut pembelajaran daring, seperti disiarkan beberapa media massa nasional pada Sabtu (16/8/2021), Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi yang akrab disapa Kak Seto meminta orangtua untuk memastikan agar anak-anaknya gembira di tengah pandemi Covid-19. Karenanya, dia menekankan pentingnya sistem belajar daring yang menyenangkan, bukan malah berubah menjadi darting, darah tinggi, yang bikin anak stres di rumah.

Bagaimana tidak, selain persoalan yang sudah saya ungkap, masalah pembelajaran daring juga terus menjadi keluhan berbagai pihak dan orang tua karena sebagai pembelajaran yang dipaksakan, termasuk dengan kurikulumnya. Terlebih, dalam keterpaksaan pembelajaran daring ini, orang tua pun banyak terkendala komunikasinya dengan pihak sekolah maupun guru, meski sudah digemborkan menyoal kurikulum darurat maupun kurikulum adaptif.

Harus sangat disadari oleh semua pihak, terutama dalam hal ini guru, bahwa
belajar di rumah secara daring dibutuhkan edukasi teknologi alias edutech yang mumpuni. Selain faktor kompetensi guru dalam bidang pelajarannya, faktor penguasaan teknologi oleh guru, faktor kondisi sosial ekonomi peserta didik juga menjadi bagian penting dalam mengatasi solusi belajar daring ini, di luar dari masalah sinyal internet yang juga menjadi penghambat.

(4) Bagaimana pengajaran sastra?

Untuk mengorek bagaimana  pengajaran sastra selama pandemi dan bagaimana seharusnya pengajaran sastra daring, sebab sudah teridentifikasi bagaimana kendala dan hasil belajar daring secara umum yang masih gagal. Maka, perlu kita identifikasi dulu masalah dalam konteks sastra dan pengajarannya secara khusus. Hal ini sebagai sarana agar tertemukan solusi minimal pengajaran sastra daring, sehingga mampu membikin peserta didik paham materi dan mampu mengaplikasikan dalam kehidupan nyata, karena peserta didik mengenal sastra, mampu mengapresiasi karya sastra, dan mampu memproduksi karya sastra.

a. Sastra itu

Dilihat dari sudut makna, Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta yaitu shaastra, yang berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman. Shaastra berasal dari kata dasar s- atau shaas- yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, dan tra yang berarti alat atau sarana.   Sementara dari sisi tujuan, Austin Warren dan Rene Wellek, dua tokoh teori sastra dunia mengungkapkan bahwa tujuan sastra adalah mendidik dan menghibur (dulce et utile). Karenanya, ketika mempelajari karya sastra, maka pebelajar akan terhibur karena larut pada cerita sekaligus terdidik karena pesan yang disampaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun