Saat membaca berbagai berita di media massa menyoal kehebohan masyarakat Indonesia, sebab ada wacana sembako hingga sekolah akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), saya berpikir, wacana tersebut memang ada yang sengaja mengapungkan demi melihat reaksi dan respon masyarakat atau sebaliknya wacana yang baru dalam tahap rencana ini bocor ke publik?
Namun, yang pasti, di dalam kolom-kolom artikel yang mengupas masalah PPN ini, warganet dan netizen sangat nampak marah kepada pemerintah. Ada yang menyebut rakyat Indonesia kini dijajah lagi, ada yang sampai bilang ini bukan Republik Indonesia, tapi Kerajaan Indonesia.
Respon dan reaksi tersebut tentu sangat beralasan, sebab tanpa pandemi corona saja rakyat terus hidup menderita dan tak sejahtera. Keadilan dan hukum, tajam ke bawah, tumpul ke atas. Rakyat jelata terus ditekan, hanya dimanfaatkan suaranya, tapi orang kaya justru semakin hidup enak.
Demi meyakinkan tentang masalah PPN yang akan dikenakan mulai dari sembako hingga sekolah itu, saya pun mengikuti dialog interaktif di salah satu televisi nasional.petang ini, yang mengangkat tema tersebut, dan menghadirkan nara sumber termasuk dari stakeholder terkait.
Dalam dialog tersebut, saya simpulkan, wacana dan rencana pengenaan PPN terhadap sembako hingga sekolah memang bukan hoaks dan bukan isapan jempol.
Fakta-faktanya
Saya kutip dari konfirmasi Kompas TV, Rabu (9/6/2021), Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu), melalui Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Kemenkeu, Neilmaldrin Noor, menyatakan, belum ada keputusan final terkait pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap sembako.
Neil juga menyampaikan bahwa hingga saat ini rancangan mengenai tarif PPN masih menunggu pembahasan.Skema yang mengikutinya pun masih dalam pembahasan.
Meski penjelasan Neil demikian, mengapa masyarakat dihebohkan dengan kabar rencana pemerintah memungut PPN dari sembako?
Ternyata, masyarakat tahu dari berbagai pemberitaan di media massa bahwa rencana itu tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Dalam draf beleid tersebut ada yang berubah, yaitu barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Artinya, barang itu akan dikenakan PPN.