Tidak hanya memksakan kehendak, bahkan DPR dan Pemerintah pun telah menyiapkan diri dengan segenap timnya, seperti polisi, perangkat hukum, media massa yang memihak, serta influencer dan buzzer yang semuanya hampir dengan skala 8 hingga 10 yang dalam bahasa sederhananya, semua "nantangin rakyat".
Sementara buruh dan mahasiswa pun ikut-ikutan MTR dalam menyikapi penolakan UU Cipta Kerja yang dipaksakan karena DPR dan Pemerintah seolah tak menganggap rakyat, dengan cara demonstrasi.
Akhirnya, balas-membalas adegan kemarahan tingkat rendah pun terus terjadi. DPR dan Pemerintah, melalui semua divisi pendukungnya terus stabil dalam tingkat MTRnya. Contoh MTR yang dilakukan DPR dan Pemerintah adalah mengabaikan suara rakyat sebelum UU Cipta Kerja disahkan. Menyuruh dan menantang rakyat menempuh jalur hukum ke MK. Polisi menangkap rakyat yang dianggap melawan hukum. Para Menteri terus bersuara lantang dan keras membentengi diri coba terus mematahkan aspirasi rakyat. Terus membela diri dengan cara apa pun agar UU Cipta Kerja tetap mulus.
Apa yang kini sedang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah dengan berbagai cara mempertahankan UU Cipta Kerja, saya sebut sebagai kategori MTR karena terus memaksakan kehendaknya dengan membentengi diri dengan berbagai cara.
Akibat cara seperti demikian, tak menganggap aspirasi rakyat, maka rakyat pun membalas dengan cara MTR juga, yaitu demonstrasi. Bersuara lantang, intonasi tinggi dan ekspresi marah, serta bahasa tubuh melawan. Sebab, demonstran murni yang direpresentasikan oleh buruh dan mahasiswa, tak ubahnya sedang menghadapi orang yang tak cerdas intelegensi dan tak cerdas emosi. Maka dari itu, demonstrasi adalah analogi dari MTR yang skalanya 9 atau 10.
Dari berbagai literasi dan penelitian, orang yang sukses dalam hidupnya tak cukup hanya bermodal cerdas intelegensi, namun wajib pula senantiasa mengasah kecerdasan emosionalnya (emotional intellegence/EQ).
Bahkan ada penelitian yang mengungkap bahwa 90 persen orang yang berada di puncak kesuksesan "karir" nya, terbukti memiliki EQ yang tinggi.
Kendati EQ sulit diukur, pada umumnya orang yang cerdas emosi memiliki kepribadian yang disukai karena mampu mengelola emosinya dengan baik dan otomatis akan mampu membina hubungan baik dengan orang lain.
Pertanyaannya, kira-kira bagaimana hubungan kecerdasan intelegensi dan kecerdasan emosi para elite partai yang duduk di parlemen dan pemerintah, serta kecerdasan intelegensi dan kecerdasan emosi "rakyat" Indonesia terkini, bila dikaitkan dengan berbagai sengkarut, terutama menyoal UU Cipta Kerja.
Apakah pengelolaan kecerdasan intelegensi dan emosi ini digunakan oleh "mereka" semua dalam berbagai kasus sengkarut di NKRI?
Dalam kasus UU Cipta Kerja, yang hingga kini masih terus berlangsung demonstrasi penolakan di berbagai daerah Indonesia, bahkan kini juga diapungkan demonstrasi penolakan ini dengan istilah "pembangkangan sipil" oleh media massa, mendeskripsikan bahwa praktik dan aplikasi dari kecerdasan intelegensi dan emosi ini benar-benar dapat dilihat dengan kasat mata atau tanpa kasat mata, karena di dalamnya ada skenario-skenario cerdas yang menjadi arah.