Aku dan Bus KotaÂ
Oleh : Toni Pratama
"Itu mau sekolah atau mau jualan sih? Bawaannya banyak banget! Bikin penuh bus aja," cewek berponi itu mencibirku.
"Tampangnya culun gitu lagi! Kacamatanya itu lho! Nggak matching banget sama tuh muka!" sambung teman di sampingnya yang tidak kalah judesnya.
"Hei...kasian tau! Pasti anak daerah tuh, badannya aja ceking kayak busung lapar," cewek satunya yang berkuncir menimpali dengan tawanya yang menggelikan.
"Cacingan kaleeee...! Di kampung kan keseringan bajak sawah. Hahahaha," cewek berponi itu kembali meledekku.
Aku diam saja dan menunduk dalam-dalam di kursi pojok belakang bus. Geng cewek metropolitan itu terus membullyku dengan kata-kata yang menyindir dan menusuk sanubari. Tidak satu pun kalimat yang aku bisa balas karena aku di posisi yang tersudutkan. Cewek-cewek centil itu semakin menjadi-jadi saat melihatku mati kutu. Aku hanya berharap segera tiba di tujuanku, sekolah SMA Tarsisius I, sebelum pertigaan Harmoni, Jakarta Pusat.
Setiap pagi aku mesti berlomba dengan waktu untuk tiba di sekolahku. Bangun pagi pukul 05.00 WIB, kemudian antri mandi dengan penghuni kos lainnya yang juga memburu waktu. Setelah sarapan ala kadarnya, sekitar pukul 05.30 WIB aku sudah harus berada di tepi jalan untuk menunggu mikrolet lewat yang akan mengantarku ke Terminal Kalideres. Lalu perjalananku disambung dengan bus jurusan Kalideres-Blok M dan aku turun di Terminal Grogol. Aku sambung bus lagi yang jurusan ke arah Pasar Baru untuk tiba di sekolahku.
Selain khawatir terlambat ke sekolah, alasanku lainnya mengapa harus menumpang bus pagi-pagi adalah barang bawaanku yang banyak. Apa itu? Daganganku! Aku jualan aneka makanan kepada teman-teman sekelasku maupun anak kelas lainnya. Ada roti berbagai rasa. Ada nasi uduk, mie ayam, kwetiau goreng, dan lainnya sesuai pesanan langgananku. Aku mengambil barang daganganku itu dari warung sebelah tempat kosku di Kalideres Permai.
Berawal dari keluh kesah teman-teman sekelasku yang sering tidak dapat makanan saat mengantri di kantin sekolah yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah siswa di sekolah kami. Bayangkan saja! Setiap angkatan sekolah lanjutan atas ada 5 kelas. Ditambah para siswa SD dan SMP dalam satu kompleks sekolahan, ada ratusan siswa yang istirahat sekaligus dalam waktu yang hanya 15 menit. Sementara kantin yang ada berjumlah tidak lebih dari 8 unit. Makanya teman-temanku sering mengeluh kelaparan karena bel masuk kelas selepas istirahat keburu berbunyi padahal pesanan mereka belum datang.