MENULIS DAN MEMBACA ADALAH SEPASANG KEKASIH
Menulis dan membaca adalah dua minat bakat yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Seseorang yang mampu menulis seyogyanya memiliki minat baca yang baik. Begitu juga kebalikannya, seseorang yang hobi baca, semestinya dapat menuliskan apa yang sudah diketahuinya. Jika keduanya tidak dijodohkan dengan baik, maka akan ada sebuah ketimpangan. Penulis ingin mengilustrasikan ketimpangan itu dalam sebuah kalimat inspiratif: Menulis tanpa membaca adalah bahaya, membaca tanpa menulis adalah nestapa.
Mengapa demikian? Coba perhatikan fenomena yang terjadi di sekitar kita! Banyak orang menulis komentar atau status di media sosial minim kata-kata bijak. Seolah sekedar menumpahkan seluruh isi perutnya saja dalam tulisan. Sehingga tidak jarang tulisan yang dihasilkan menjadi awal sebuah bencana atau fitnahan. Itulah mengapa penulis katakan bahwa menulis tanpa membaca adalah bahaya, karena membaca itu mengasah kearifan dan kebijaksanaan manusia. Jika kita dapat membaca dengan benar, maka lahirlah butir-butir kebijaksanaan saat menulis dan dapat menjadi warisan bagi generasi yang lebih baik. Menulis tanpa menyakiti, menulis tanpa sumpah serapah, menulis tanpa menghakimi, menulis tanpa dendam dan kemurkaan.
Itu baru soal menulis sebuah status atau komentar di media sosial saja. Bisa dibayangkan kan jika tulisannya dalam bentuk yang lebih "berat", buku misalnya. Apa jadinya sebuah buku ditulis dengan tanpa pokok pikiran yang jernih dan pro-kemanusiaan? Sejarah telah  membuktikan banyak tragedi perang antar bangsa berawal dari sebuah tulisan. Sungguh berbahaya, bukan? Sebaiknya menulis harus berkonstribusi membangun peradaban manusia yang lebih baik. Menulislah dengan arif! Tapi dari mana datangnya sang kearifan? Tentu saja salah satunya lewat membaca.
Lalu mengapa membaca tanpa menulis adalah nestapa? Sangat disayangkan jika seseorang yang sudah melahap banyak buku dan pengetahuan namun tidak dituliskan untuk orang banyak dan demi anak cucu. Atau kita baru mau mulai menulis dan mengetik saat jari-jari tangan sudah sulit untuk digerakkan. Terbaring lemah di ranjang atau duduk melamun di kursi goyang di teras rumah. Dan saat kita sudah melakukan perjalanan menuju keabadian, maka tiada kenangan apa pun yang dapat dinikmati generasi berikutnya. Hidup bagai buih lautan yang timbul tenggelam tanpa makna. Jika saat hal itu terjadi, hanyalah tinggal nestapa penuh kesia-siaan. Alangkah diberkati hidup ini jika semasa hidup kita dapat berkarya dan abadi.
Pepatah bijak mengatakan: Waktu pertama yang tepat untuk menanam pohon adalah 20 tahun yang lalu, namun berita baiknya adalah waktu yang tepat kedua adalah SEKARANG! Jadi, tidak peduli berapa pun usiamu saat ini, mari menulislah! Tidak ada kata terlambat, dan jangan membuat nestapa di penghujung hidupmu kelak! Ayo, ambil kertas dan pensil, raih laptopmu, mulailah tuangkan idemu yang cemerlang itu! Dan yang terpenting, selesaikan dengan tuntas. Niscaya, nestapa akan perlahan menjauhimu.
Makanya, membaca dan menulis digambarkan bagaikan sepasang kekasih. Buah dari "kisah asmaranya" bernama KARYA. Membaca yang berkualitas dan menulis yang berkebijaksanaan, maka niscaya lahirlah sebuah karya yang penuh kearifan dan menginspirasi banyak orang. Sebuah karya yang mampu menjadikan dunia semakin baik dan nyaman untuk ditinggali. Sebuah karya yang dapat mencetak anak bangsa yang berbudi luhur dan berjiwa patriot.
Jangan pisahkan antara membaca dan menulis! Jangan renggut kemesraan keduanya! Membaca adalah "sang pria" dan menulis adalah "sang wanita". Mereka memang ditakdirkan untuk hidup bersama. Saling melengkapi dan saling mengayomi. Demi lahirnya karya-karya yang menggugah dunia.
Membaca dan menulis adalah pasangan sejati. Mari kita jaga "keutuhan cinta" mereka hingga lestari selamanya!