Dalam banyak pasal-pasal di regulasi JKN dari PP, Perpres sampai Permenkes, juga ditutup dengan kalimat lebih kurang sebagai berikut:
"... lebih lanjut diatur dengan Peraturan BPJS".Â
Jadilah kemudian memang BPJSK menerbitkan beberapa kebijakan. Satu sisi, itu membuat kita sering mengritik keras. Minimal, kita merasa kurang nyaman. Para penyedia layanan khususnya, sering merasa "dikungkung" dengan "aturan BPJS". Di sisi lain, sering juga dengan mudah menudingkan banyak hal yang kurang nyaman sebagai "salahnya BPJS". Antrian panjang di RS, pilihan obat, sistem rujukan, semua mudah kita alamatkan sebagai "gara-gara BPJS". Padahal banyak hal prinsip dalam JKN itu diatur oleh PP, Perpres dan Permenkes. Bukan oleh Peraturan BPJSK.Â
Itulah kondisi sepertinya membuat sampai sudah berjalan 2Â tahun pun, kebingungan dan salah kaprah itu masih terus berkembang. Tinggal kita sekarang bertanya pada diri sendiri, masihkah kita akan terus berada pada kesalah kaprahan, ataukah kita mau berusaha mencari tahu, agar menjadi lebih tepat memahami, sekaligus lebih tajam mengritik BPJSK.Â
JKN sudah terbukti bermanfaat bagi masyarakat. JKN juga ternyata masih banyak menghadapi masalah. Karena itu, mari kita kawal JKN dengan semangat gotong royong, saling peduli, sekaligus saling memahami.Â
Mengapa saya bersikukuh meluruskan dan menggunakan istilah "Pasien JKN" bukan "pasien BPJS"? Karena dengan terus secara salah kaprah kita menggunakan istilah kedua, ditambah dengan seringnya kita menudingkan hampir semua masalah dalam JKN kepada BPJSK, maka itu sama saja kita sedang bersama-sama menghambat jalannya JKN.Â
Kondisi "apa-apa BPJSK" ini membuat teman-teman BPJSK merasa menjadi yang selalu dituduh menyebabkan masalah. Sebaliknya itu membuat pihak lain sering kurang sempat bercermin dan berbenah diri. Lebih mudah menudingkan masalahnya kepada BPJSK.Â
Di sisi lain, karena "apa-apa itu salahnya BPJSK", maka terjadi kemudian kecenderungan teman-teman BPJSK untuk bersikap defensif. Muncullah kemudian serangkaian kebijakan dan implementasi di lapangan yang menjadi terlalu kaku. Saya menyebutnya sebagai "Blaming Culture Syndrome". Akibatnya, situasi menjadi semakin tidak nyaman bagi kedua pihak: bagi BPJSK maupun pihak di luar BPJSK.Â
Tentunya, tidak ada pada kedua kondisi itu yang kita harapkan. Kita tentu semua berharap, JKN bisa berjalan dengan baik. Mari kita dudukkan masing-masing pada ranah dan tugasnya. Semata karena with greater power, comes greater responsibility.Â
Jangan biarkan dan jangan "paksa" BPJSK mengatur yang bukan ranahnya.Â
#SalamKawalJKN