Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Fadli Zon dan Rocky Gerung Serta Hypercritical yang Diidapnya

12 Februari 2019   22:17 Diperbarui: 15 April 2019   15:26 2643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya sebenarnya ingin memulai tulisan ini dengan berbagai contoh, tapi begitu banyaknya contoh yang dapat dijabarkan, saya jadi bingung sendiri.

Maka saya akan mulai dari pemberitaan yang palling hangat. Baru-baru ini beredar sebuah video dimana presiden Jokowi "dipatuk" oleh mikrofon.

Maksudnya adalah, ketika itu Jokowi tengah memberi pidato di acara deklarasi Alumni SMA Jakarta BerSATU, saat tengah membahas isu antek asing, mikrofon yang dipakai Jokowi tiba-tiba maju mengenai mulutnya.

Dari video yang saya tonton sekilas, saya merasa tangan Jokowi menyenggol sedikit pada bagian mikrofon, sehingga mikrofon tersebut maju dan mengenai mulut Jokowi.

Dari situ muncullah istilah Jokowi "dipatok" mikrofon. Kejadian itu tentu menarik untuk seorang politisi bernama Fadli Zon. Dia merespon kejadian itu dengan istilah kewayangan "Petruk Dadi Ratu."

Menurut Fadli saat Petruk kembali menjadi wujud semula, dia selalu berbuat salah. Apa yang dilakukan pasti bermasalah. Sosok Petruk dalam analogi Fadli Zon adalah presiden Joko Widodo.

Mundur satu langkah, Fadli Zon belakangan juga mengkritik Jokowi yang disebutnya melakukan pencitraan keluarga harmonis lewat sesi foto yang dilakukan di istana kepresidenan.

Menurutnya jumlah wartawan yang hadir dalam sesi itu terlalu banyak.Bahkan Fadli menyebut apa yang dilakukan Jokowi saat berfoto bersama keluarganya adalah "theory photo operation" ala Amerika.

Jadi menurut Fadli saat Jokowi berfoto dengan keluarganya itu adalah konspirasi antara istana dan media untuk mengharumkan nama Jokowi.

Dan jika disimpulkan dalam pernyataannya sendiri, menurut Fadli sebagian besar yang dikerjakan oleh pemerintah Jokowi itu gagal. Swasembada dan infrastruktur adalah salah satunya.

Bahkan yang paling remeh, Fadli juga mengkritik keras saat Jokowi mengaku suka membaca komik. Bagi Fadli itu adalah sebuah tragedi perjalanan bangsa.

Fadli membandingkan bahan bacaan Jokowi dengan para pendiri bangsa seperti, Sutan Syahrir, Bung Hatta, hingga Hos Cokroaminoto.

Menurutnya para pendiri bangsa itu bacaannya harusnya buku "Indonesia Merdeka" dan sejenisnya, bukan komik Doraemon atau Shincan.

Tentu masih banyak contoh yang bisa saya tuliskan jika bicara Fadli Zon, tapi saya akan coba mengambil contoh lain.

Siapa yang tak kenal Rocky Gerung.Dia adalah (yang ngakunya) akademisi yang komentarnya selalu khas, dia memadukan unsur filsafat, fiksi, diksi, dan analogi untuk mempertajam argumennya. Dan menurut saya itu berhasil.

Kata "dungu" adalah tagline yang dipopulerkannya untuk menyebut Presiden Joko Widodo, termasuk kepada para pendukung Jokowi yang sering diibaratkan cebong yang suka ngumpul di kolam.

Sekalipun dengan tata bahasa yang berbeda, Fadli Zon dan Rocky Gerung adalah dua sosok yang tak pernah sekalipun tak mengkritik Jokowi.

Jangan harap ada pujian apalagi apresiasi untuk kinerja pemerintah. Saya tak menyalahkan sih, mungkin melalui kaca mata mereka yang terlihat adalah suatu kekurangan yang memang harus dikritik terus menerus.

Baru-baru ini saya menemukan sebuah istilah, namanya "hypercritical."Istilah ini dicetuskan oleh seorang dokter inggris pada abad ke-20 bernama D.Martyn Lioyd-Jones."hypercritical"sendiri memiliki arti, sebuah kritik tapi kelebihan dosis.

"Hypercritical" adalah dorongan untuk cenderung kritis, yang berarti bahwa ia menyenangi kritik demi kritik itu sendiri dan menikmatinya.

Orang yang mengidap gejala ini mengkritik orang supaya senang, mengkritik bukan demi perbaikan tapi kepuasan.

Ia adalah orang yang mendekati segala sesuatu untuk mengkritik, sambil mengharapkan bahwa ia akan menemukan kesalahan-kesalahan dan mengharapkan yang terburuk. Ia mendapatkan kepuasan ketika menemukan kesalahan dan cacat pada diri orang lain.

Lalu apakah dua sosok yang saya sebutkan diatas dapat dikategorikan "hypercritical" ?

Karena mereka berdua selalu dengan dalil kebebasannya menilai orang lain, maka kali ini kita akan coba menilai mereka.

Sebagai seorang akademisi dan ketua DPR, apakah yang mereka kritik substansial? Menurut saya Fadli dan Rocky tak perduli dengan substansi.

Mereka hanya perduli pada celah agar punya bahan untuk menjatuhkan lawannya.

Memang sih, khususnya Fadli, dia adalah seorang politisi, tapi dia lupa kalau dia juga adalah ketua DPR.

Keliru sekali kalau dia mengambil posisi sebagai musuhnya pemerintah, apalagi musuhnya Jokowi. Dia itu mitra kerja pemerintah.

Sedangkan Rocky Gerung, dia adalah akademisi, maka pengamatan yang diucapkannya harusnya seimbang.

Jika ada yang buruk paparkan juga sisi baiknya. Kritiknya harusnya menetralkan kesimpang siuran di masyarakat.

Bahkan tampak kalau kedua sosok ini begitu menikmati kritik dan perdebatan. Selain membuat nama mereka semakin terkenal, buat saya mereka terlihat begitu menikmati permainan yang mereka ciptakan sendiri.

Dari gejala yang saya lihat Rocky Gerung dan Fadli Zon bisa dikatakan termasuk orang yang "hypercritical." Akan sangat panjang jika saya jabarkan poin demi poin.

Tapi secara keseluruhan, kita dapat melihat bahwa semua indikator seorang "hypercritical" itu match dengan perilaku mereka.

Boleh setuju boleh tidak. Salam.

Penikmat yang bukan pakar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun