Mohon tunggu...
Tofik Pram
Tofik Pram Mohon Tunggu... Jurnalis - Warga Negara Biasa

Penulis dan editor konten lepas http://tofikpr.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Minder, kok, Dipelihara...

7 Oktober 2020   09:25 Diperbarui: 7 Oktober 2020   09:44 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kita sudah kenal metalurgi sejak zaman bahuela. Sistem hukum dan pemerintahan kita banyak disadur negara-negara maju Eropa, setelah memeras kitab Nagarakertagama. Bahkan, setelah memeras saripati kitab itu, konon, Belanda kini jadi pusat Mahkamah Internasional karena dinilai paling maju dalam penerapan hukum. Tapi, apa yang bisa kita pelajari dari kebesaran sejarah kita sendiri?

Kritik saya pribadi---sesuai dengan pengalaman saya---selain minder, bangsa ini maunya juga instan. Tengok saja bagaimana sumber daya manusia di negara ini dididik dan dibentuk. Dalam definisi pendidikan formal yang kita pahami sekarang ini, sekolah atau kampus favorit/unggulan adalah tempat belajarnya "anak-anak pintar". Yang bisa diterima dan diolah di lembaga-lembaga kelas itu adalah mereka yang sudah punya bibit pintar. 

Lha kalau begini caranya, ini sih namanya bukan pendidikan, tapi 'panggung drama'. Bukankah pendidikan adalah suatu proses untuk mencerahkan? Kenapa juga mencerahkan yang sudah cerah? Apa itu tidak sama saja dengan menggarami lautan?

Kalau menurut penulis, seharusnya sebuah lembaga pendidikan pantas disebut 'favorit' karena berhasil mendidik anak-anak yang (maaf) tidak cerdas menjadi cerdas. Mengeluarkan seseorang dari kegelapan menuju terang. Itulah tujuan pendidikan yang pernah digagas oleh Ki Hajar Dewantara dulu. Pendidikan adalah mengolah batu menjadi permata. 

Nah, berangkat dari sini, seharusnya sekolah atau kampus favorit itu justru menerima anak-anak yang secara akademik kurang bagus, dan tugas mereka adalah menjadikan mereka bagus.

Tapi, kan, tidak seperti itu. Anak-anak yang secara akademik kurang bagus---seperti penulis ini contohnya---tidak diterima di kampus favorit. Akhirnya yang 'bodoh' dibiarkan tetap 'bodoh', dan yang 'cemerlang' semakin gemilang. 

Belum lagi ongkos pendidikan sekolah favorit itu yang nauzubillah mahalnya. Kalau pemerintah mau serius mencetak 'generasi penerus bangsa yang gilang gemilang', ya harusnya tidak segan-segan mengeluarkan beasiswa untuk anak-anak yang belum berprestasi (secara akademik), terutama dari keluarga kurang mampu.

Mendapatkan pendidikan yang layak itu hak setiap warga negara lho. Anak-anak yang 'tidak pintar' itu sebenarnya bukannya mereka tidak mau belajar. Mau. Cuma saja, dalam proses belajar formal, mereka tidak bisa mengoptimalkan potensi mereka. Sebab, kurikulum (yang sepertinya perlu direvolusi) telah mendefinisikan anak pintar adalah mereka yang mampu menghapal materi pelajaran, bukan memahami. Sementara tidak semua orang bagus hapalannya, kan?

Inilah salah satu kelemahan negara ini dalam mengoptimalkan potensi sumber daya manusianya. Ibaratnya begini: Ketika melihat batu, mereka tidak tertarik untuk mengolahnya jadi berharga. Tidak mau menjadikannya akik atau batu perhiasan. Batu, ya, dibiarkan saja menjadi batu yang mangkrak di pinggir jalan. Mereka hanya mau mengolah emas atau berlian yang sudah jadi. 

Maka dari itu, yang bodoh tidak dianggap, yang pintar dipoles semakin mengkilap. Ujung-ujungnya, berimbas pada seleksi dunia kerja. Yang jenjang pendidikannya tidak tinggi, atau pendidikan tinggi tapi bukan dari 'kampus favorit' tidak pernah jadi prioritas. Yang gampang dapat kerja dengan hasil dan fasilitas memadahi hanya mereka yang dari kampus bagus. Ini, kan, nganu.

Walhasil, kesenjangan dunia pendidikan berimbas pula pada kesenjangan dunia kerja dan perikehidupan lainnya. Kesenjangan inilah yang berpotensi menghadirkan eksploitasi antar-kelas sosial. Ya, karena proses pencetakan sumber daya manusia kita ini masih aneh dan sangat senjang sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun