Menulis dengan Hati, Dibaca dengan Nurani
Oleh: Tobari
Kadang, kita menulis seperti menabur benih di tanah yang tak pasti. Entah tumbuh, entah hilang ditelan angin. Kita menyusun kata demi kata dengan harapan, tapi tak tahu apakah ada yang membacanya, memahaminya, atau sekadar meliriknya. Namun, dalam keheningan itu, ada secercah cahaya. Ketika sebuah tulisan sederhana yang lahir dari suara hati, ternyata dibaca oleh ribuan orang hanya dalam hitungan dua hari lebih.
Itulah yang saya alami. Dari 271 artikel yang saya publikasikan di Kompasiana, tak pernah saya menyangka bahwa tulisan berjudul "Ketika Ilmu Tak Lagi Dihargai: Suara Hati Para Dosen" akan dibaca oleh lebih dari 10.100 pembaca hanya dalam waktu 2,5 hari.
Bukan angka yang biasa-biasa. Bukan pula sebuah kebetulan semata. Ada sesuatu yang bergerak di balik angka itu: hati-hati yang tersentuh, nurani-nurani yang terbangunkan, dan kerinduan yang sama akan makna sejati dari ilmu pengetahuan.
Saya tidak menulis untuk mengejar popularitas. Saya menulis karena ada kegelisahan yang tak bisa ditampung sendiri. Sebagai seorang dosen, saya menyaksikan betapa ilmu mulai kehilangan tempatnya. Dianggap barang lama yang tidak lagi relevan.
Dosen hanya dipandang sebagai pelengkap administrasi, bukan sebagai pelita yang menerangi jalan generasi. Ilmu, yang seharusnya menjadi cahaya, kini seperti lilin yang meredup di sudut ruangan.
Tulisan itu lahir bukan dari amarah, tapi dari kepedihan. Bukan untuk menyalahkan, tapi untuk mengajak merenung, dan ketika ribuan orang membacanya, saya sadar: ternyata saya tidak sendiri. Banyak yang merasakan hal yang sama. Banyak yang selama ini diam, kini menemukan suara mereka dalam tulisan itu.
Apa makna dari semua ini?