Pertama, bahwa kata-kata punya nyawa. Bila ditulis dengan kejujuran dan cinta, ia akan menemukan jalannya. Menembus layar, masuk ke hati pembaca. Kata-kata yang tulus tidak butuh promosi besar-besaran. Ia hanya butuh kejujuran penulis dan relevansi dengan nurani pembacanya.
Kedua, bahwa masyarakat masih haus akan kebenaran dan makna. Di tengah derasnya informasi instan dan sensasi, masih banyak orang yang mencari tulisan yang mengajak merenung, bukan hanya menghibur. Kita salah besar bila menganggap pembaca Indonesia hanya suka hal-hal ringan. Mereka bisa sangat mendalam bila diberi ruang dan rasa percaya.
Ketiga, bahwa menulis adalah bentuk pengabdian. Bukan sekadar menyusun huruf, tetapi merawat harapan. Setiap tulisan adalah ladang amal, terutama bila isinya menebar nilai, menyuarakan keadilan, dan menyalakan semangat.
Saya teringat sebuah hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam :
"Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim no. 1631)
Menulis ilmu yang bermanfaat, barangkali adalah salah satu bentuk sedekah jariyah yang abadi. Kita tidak pernah tahu siapa yang membacanya, siapa yang tercerahkan, atau siapa yang hidupnya berubah karenanya. Kita yakin, Tuhan akan mencatat setiap huruf yang kita tulis dengan niat baik.
Pengalaman ini memberi saya semangat baru. Menulis bukan lagi sekadar kebiasaan, tapi sebuah panggilan. Panggilan untuk menyuarakan isi hati banyak orang yang selama ini diam. Panggilan untuk menghidupkan kembali arti penting pendidikan. Panggilan untuk menjaga agar ilmu tidak hanya jadi tumpukan kertas di rak, tapi benar-benar hidup dan bermanfaat di tengah masyarakat.
Saya mengajak para pendidik, penulis, dan siapa pun yang menyimpan kegelisahan dalam hati: jangan biarkan keresahan itu terpendam begitu saja. Tulis dan tuangkan dalam kata-kata. Mungkin tulisan itu tidak langsung dikenal banyak orang. Tapi percayalah, suatu saat ia akan menemukan pembacanya, dan saat itulah, kita akan mengerti bahwa tulisan yang ditulis dengan ketulusan, akan dibaca dengan sepenuh hati.
Kita mungkin tidak bisa mengubah dunia seketika. Tapi kita bisa mengubah satu hati dalam satu waktu, dan dari sanalah perubahan besar selalu bermula.
Menulis bukan hanya urusan pena dan kertas. Ia adalah jalan sunyi menuju keabadian, sebab tidak semua orang bisa hadir di ruang publik, tapi tulisan bisa menyusup ke ruang hati yang terdalam. Bahkan ketika penulisnya telah tiada, tulisannya tetap hidup, menjadi pelita bagi yang mencari arah.
Kita mungkin tidak selalu tahu siapa yang membaca tulisan kita. Tapi bisa jadi, di suatu sudut negeri, ada anak muda yang terinspirasi. Ada guru yang dikuatkan. Ada pemimpin yang tercerahkan. Semua itu berawal dari satu keputusan sederhana: berani menulis dengan hati.