Haji, Iman, dan Tembok Administrasi: Saatnya Umat Islam Memimpin Perubahan
Oleh: Tobari
Musim haji tahun 2025 menyisakan kisah yang tak terlupakan. Tiga warga negara Indonesia yang hendak berhaji tanpa visa resmi diturunkan sopir taksi di tengah gurun panas perbatasan menuju Makkah.
Tanpa perlindungan, tanpa logistik memadai, dan tanpa akses legal, mereka berjalan kaki menembus padang pasir demi memenuhi panggilan suci.
Salah satu dari mereka, seorang dosen, meninggal dunia dalam perjalanan, sementara dua lainnya ditemukan dalam kondisi kritis.
Kisah pilu ini menjadi simbol kerasnya sistem yang memagari ibadah dengan batas-batas administratif yang tak terjangkau sebagian umat.
Hanya ada semangat yang terpanggil oleh kalimat suci:
"Dan serukanlah kepada manusia untuk berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh." (QS Al-Hajj: 27)
Alih-alih disambut sebagai tamu Allah, dhuyufurrahman, mereka justru ditangkap dan dipulangkan.
Di sinilah nurani umat terguncang. Ibadah yang mestinya menjadi panggilan ruhani, justru dikekang oleh pagar-pagar administratif yang dibangun atas nama sistem.
Ketika Ibadah Menjadi Komoditas