Menulis bukan sekadar menggerakkan jari, tapi juga mengalirkan energi.
Saat tubuh lemah atau pikiran kacau, sulit untuk menulis sesuatu yang bermakna. Namun justru dari kerinduan untuk tetap menulis, muncul dorongan positif:
“Saya harus sehat agar dapat terus menulis.”
Kalimat sederhana ini menjadi auto-sugesti yang luar biasa. Pikiran tersebut memerintahkan seluruh sel tubuh untuk tetap kuat dan bersemangat. Energi positif pun mulai beresonansi dalam diri, menyegarkan pikiran, bahkan membantu proses pemulihan fisik.
Dari Trauma Menuju Terapi
Saya menulis ini bukan berdasarkan teori, melainkan pengalaman nyata.
Beberapa tahun lalu, saya pernah mengalami dementia akibat gegar otak parah setelah terjatuh dari pohon dengan kepala menghantam tanah. Daya ingat saya hampir lenyap.
Bayangkan, bertemu sahabat lama tapi tak ingat namanya. Sudah makan pagi dua kali, tapi tetap merasa belum makan.
Itu masa yang sangat berat saya kehilangan sebagian diri saya sendiri.
Namun dari keterpurukan itu, saya mulai menulis. Perlahan, menulis membantu saya mengembalikan memori yang hilang. Setiap kalimat yang saya tulis seperti jembatan kecil yang menghubungkan kembali ingatan masa lalu dengan kesadaran masa kini. Menulis menjadi penyembuh saya terapi alami yang menuntun saya keluar dari kabut lupa.
Ketika Tulisan Menyembuhkan Orang Lain
Tulisan yang lahir dari pikiran positif membawa getaran positif pula. Pembaca bisa merasakan “energi hangat” di balik setiap kalimat. Ada yang merasa lebih tenang, ada yang merasa dikuatkan, karena setiap kata menumbuhkan semangat baru.
Inilah keajaiban tulisan yang tulus. Energi positif penulis memantul kepada pembaca, membentuk lingkaran resonansi kasih. Inilah yang disebut dalam dunia bioenergi sebagai distance healing — penyembuhan jarak jauh melalui kekuatan pikiran dan niat baik yang dituangkan dalam tulisan.
Sebaliknya, tulisan yang lahir dari kemarahan, kebencian, atau dendam dapat melukai hati pembaca. Kata-kata memang tidak terlihat, tetapi daya getarnya nyata. Energi negatif yang keluar dari pikiran penulis akan sampai kepada orang lain dalam bentuk rasa tidak nyaman, cemas, atau bahkan tersinggung tanpa sebab
Konsistensi Menulis
Menulis sebagai terapi tidak bisa dilakukan sesekali, hanya ketika sedang in the mood. Ia perlu dilakukan secara konsisten seperti berlatih olah raga atau meditasi.
Konsistensi menulis membuat energi positif mengalir terus, memperkuat daya tahan mental, dan menjaga keseimbangan batin.
Menulis dengan Sepenuh Hati
Saya menulis bukan untuk mencari kesempurnaan, melainkan untuk menjaga agar hidup tetap bermakna. Semoga tulisan sederhana ini bisa membuka cakrawala bahwa menulis bukan hanya sekadar hobi atau cara mengisi waktu luang, tetapi juga jalan untuk memberi manfaat bagi sesama.
Mutu tulisan tentu pembaca yang menilainya.
Tugas kita hanya satu: menulis dengan hati yang tulus dan pikiran yang positif.
Bukankah telah tertulis:
“Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi sesamanya.”
Nah, setidaknya dengan menulis secara konsisten, kita telah mengaplikasikan hidup berbagi.
Tjiptadinata Effendi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI