Tiba tiba ada sesosok wajah yang dicat dengan warna abu abu sedang berdiri di samping kanan kendaraan yang saya kendarai. Saya bukan kaca dan menanyakan ada apa? Lelaki bertopeng cat ini menawarkan untuk membersihkan kaca mobil.
Namun karena akan mengganggu orang lain, maka dengan halus saya tolak tawarannya, "Om Maaf berikanlah saya kesempatan untuk membersihkan kaca mobil. Terserah Om mau kasih berapa. Saya butuh untuk beli makanan anak dan istri dirumah..." katanya sopan.
Saya tertegun. Mendadak sontak saya merasakan bagaimana perasaan lelaki yang sedang berdiri dan menanti penuh harapan, sekedar 5 ribuan dari saya.Â
Saya ingat bahwa dulu saya juga pernah berada dalam kondisi seperti ini, kendati tidak pernah sampai mengamen di jalanan. Namun kalau untuk makan harus utang sana sini sudah sering saya lakukan.Â
Saya ulurkan tangan saya kearah istri saya dan Lina sudah tahu, saya minta uang untuk diberikan kepada sesosok anak manusia yang ada berjarak sejengkal dari kami. Walaupun kendaraan saya belum sempati disentuh, tapi lembaran 10 ribu rupiah saya ulurkan dan disambut dengan wajah ceria.
Mengapa Harus Memberikan?
Sama sekali tidak terpikirkan oleh saya mengenai pahala atau mungkin ada yang akan protes bahwa apa yang saya lakukan bukanlah contoh yang baik, malahan menyebabkan orang menjadi pemalas. Atau mungkin ada lagi pendapat lain bahwa tindakan saya memberikan selembar uang kepada sosok yang wajahnya dicat itu,sama sekali tidak mendidik dan tidak patut di contoh.
I don,t care about it. Saya sungguh tidak peduli dengan semuanya itu. Apakah saya mendapatkan pahala atau malahan saya dianggap berdosa karena telah telah melakukan perbuatan yang tidak mendidik, saya juga tidak peduli. Yang penting usai mengulurkan lembaran uang dan diterima dengan wajah gembira sambil mengucapkan:"Alhamdulillah" saya sudah senang
Hanya sebuah renungan kecil di akhir pekan
Burns Beach,musim gugur ,mei 2021
Tjiptadinata Effendi