Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Temukan Kekuatan Gaib yang Tersembunyi

14 Februari 2020   19:51 Diperbarui: 14 Februari 2020   20:01 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ket. foto : pantai padang/dokpri

Dalam Bahasa Daerah

"Menguasai bahasa berarti menguasai bangsa"

Peribahasa ini  kedengarannya agaknya terlalu berbau ekstrim. Tapi jelas maksudnya bukan dalam arti kata "menguasai " untuk menjajah, melainkan mampu menjadi jembatan penghubung dalam aneka ragam perbedaan. Nah, daripada mengambil contoh yang jauh, mohon izin saya mengambil contoh  tentang kampung halaman kami, yakni kota Padang. 

Tanpa perlu malu malu menyebutkan, jelas antara kami sebagai keturunan Tionghoa berbeda dalam banyak hal dengan warga yang memang nenek moyangnya asli orang Padang. Jadi walaupun saya dilahirkan pada era dai Nippon, yakni sebelum zaman kemerdekaan RI, tetap saja perbedaan tersebut tidak dapat dipupus. Perbedaan bukanlah sebuah kekurangan, melainkan justru sebuah kelebihan, asal saja kita mampu menyikapi secara bijak. Bila perbedaan yang ditonjolkan, maka akan berubah menjadi kutukan, tapi bila disikapi dengan arif, akan menjadi berkah. Begitu kata orang bijak, saya hanya mengutip saja.  

Menjauhi Sikap Hidup yang Eksklusif

Langkah awal untuk menghilangkan kesan bahwa kita menempatkan diri sebagai golongan eksklusif adalah dengan berusaha memahami dan menggunakan bahasa setempat sebagai bahasa komunikasi dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Saya termasuk paling beruntung karena ayah saya lahir di Labuah Silang, salah satu kecamatan di Payakumbuh. Semasa kecil pendidikan di Madrasah sehingga catatan ayah saya hampir seluruhnya dalam tulisan Arab. Ayah saya dibesarkan oleh ibu angkatnya, orang Minang Asli  dan diberi nama Qasim yang terus melekat, hanya diubah penulisannya menjadi Kasim. Maka tidak mengherankan, di rumah bahasa yang kami gunakan adalah bahasa Padang.

Mohon maaf, saya tidak berani menyebut "Bahasa Minang", karena saya bukan orang Minang, melainkan orang Padang. Walaupun lahir di Padang, Sumatera Barat, bilamana bukan beragama Islam, maka menurut tradisi, tidak dibenarkan menamakan dirinya "Orang Minang". Walaupun tidak ada aturan tertulis dan juga tidak ada perda yang mengaturnya, tetapi semua orang menerima keputusan ini.

Orang Tionghoa Pertama yang Berani Membawa Anak Istri Tidur di Rumah Orang Kampung

Tanpa bermaksud mengangkat diri sendiri menjadi "pahlawan kesiangan", tapi saya berani mengatakan bahwa pada masa itu, satu-satunya orang Tionghoa yang berani mengambil resiko membawa anak-anak dan istri untuk menginap di rumah orang kampung adalah kami. "Senjata" yang kami bawa hanya satu, yakni kemampuan berbahasa Padang  dan memahami tata krama di kampung. Kami menginap di Simabur, Batusangkar dengan hanya beralaskan tikar. Makan bersama seluruh anggota keluarga Pak Rusnam yang kami tumpangi, tanpa ada rasa risih sama sekali.

Namun begitu selesai makan sekenyangnya dengan dendeng batokok, eee sudah dijemput oleh tetangga Pak Rusnam. Nah, agar mereka tidak berkecil hati, maka kami datang ke rumahnya dengan ditemani oleh Pak Rusnam. 

Makan Lagi

Ternyata, di sana sudah terhidang nasi dan lauk pauk berupa ikan teri ditumbuk dan dikasih lado, serta ikan asin, dan daun ubi kayu. Anak-anak sudah menggelengkan kepala dan berbisik bahwa mereka sudah kenyang, tetapi saya menggelengkan kepala dan berbisik, makan saja pelan-pelan. Menolak untuk makan, padahal mereka bukan basa-basi, karena semua sudah disediakan dan tikar sudah digelar untuk kami duduk bersila, maka kami mulai makan perlahan-lahan. Membuang makanan bukan sifat orang di kampung karena bagi mereka sebutir beras jatuh akan dipungut. Nah, setelah perjuangan yang berat, akhirnya seluruh tugas berhasil 

Selain dari ke Batusangkar, kami juga berkunjung ke Kerinci, di hari Raya dan menginap di rumah teman di kampung, tapi karena sudah berpengalaman di Batusangkar, maka di rumah pertama, kami hanya mengambil nasi seadanya karena masih ada rumah kedua, di mana kami juga wajib makan. Ternyata dugaan kami meleset, karena di sini ada 4 keluarga yang sudah mempersiapkan makan bagi kami.

Hubungan Baik Hingga Akhir Hayat

Persahabatan dengan orang kampung adalah murni persaudaraan, tanpa ada kepentingan lain, sehingga mampu bertahan hingga Pak Rusnam dan tetangganya yang baik hati meninggal beberapa tahun lalu. Begitu juga dengan teman-teman kami di Kerinci. Hubungan persahabatan ini amat berbeda dengan hubungan persahabatan dengan latar belakang bisnis atau kepentingan lainnya. Begitu orang tidak lagi membutuhkan kita, maka persahabatan akan berakhir.

Satu kalimat saja sudah cukup untuk memancarkan magnet, bila bertemu sesama orang asal Sumatera Barat, misalnya "Onde mande, sakampuang awak yo  Uni" Satu kalimat pembuka ini saja sudah cukup untuk langsung saling berjabat tangan dan saling tukar nomor HP. Ibarat laptop langsung connecting dengan internet, maka segalanya menjadi lancar.

Sekalipun peradaban sudah berubah total, tapi "kesaktian" dari bahasa daerah tidak memudar. Hal ini setidaknya yang kami rasakan setiap kali bertemu sesama orang asal Sumatera Barat di Australia. Bagi orang Padang yang merantau, jangan cuma bisa bilang "tambuah ciek da", tapi berusahalah untuk belajar bahasa Padang agar jangan sampai lupa. Antara saya dan istri, serta anak -anak, walaupun sudah domisili di Australia, kami tetap menggunakan bahasa Padang. Kalau bahasa Cina, cuma bisa bilang, "kamsia, ya"

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun