Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kita Perlu Saling Mengingatkan

25 Maret 2019   19:02 Diperbarui: 27 Maret 2019   04:40 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: dictio.id)

Hindari Pamer Keberhasilan
Sifat pelupa bukan hanya akrab dengan orang yang sudah lanjut usia, tapi juga kaum muda. Lupa di sini bukan dimaksudkan dengan lupa di mana meletakkan kunci atau lupa di mana menyimpan kaca mata. Juga tentu saja bukan dalam konteks lupa mengembalikan barang yang dipinjam. Lupa yang dimaksudkan di sini adalah sebagai berikut:

  • Lupa bahwa apa yang tidak berarti bagi kita, boleh jadi bagi orang lain sangat dibutuhkan.
  • Sebaliknya barang yang bagi kita menjadi sebuah kebanggaan, ternyata bagi orang lain hanya dibiarkan tergeletak di dalam gudangnya.
  • Deposito yang kita banggakan karena hasil keringat puluhan tahun, bisa jadi bagi orang  lain hanya recehan.

Hal ini merupakan sesuatu yang penting untuk mengingatkan kita bahwa bila di rumah atau di gudang kita ada barang-barang yang sudah tidak digunakan lagi, baik karena sudah usang ataupun dianggap ketinggalan mode.

Alangkah baiknya bila dihadiahkan kepada orang yang membutuhkannya. Karena boleh jadi barang yang bagi kita tidak ada nilainya, bagi mereka justru merupakan sesuatu yang mereka dambakan selama bertahun-tahun tapi tidak pernah berhasil membelinya karena ketiadaan dana.

Secuil Pengalaman Pribadi
Suatu waktu di perjalanan kami berkunjung ke NTT, saya tertarik menyaksikan ada gubuk-gubuk yang didiami orang. Padahal hanya berjarak tidak sampai 20 kilometer dari pusat kota Kupang. Saya ajak teman saya yang mengemudikan kendaraan untuk berhenti. Kami minta izin untuk masuk ke pekarangan gubuk tersebut yang ternyata lantainya dari tanah.

Ada "tempat tidur" yang terbuat dari karung goni bekas dan di lantai tanah tampak seorang wanita sedang memasak sesuatu. Ketika kami tanyakan, ternyata wanita ini sedang merebus jagung kering agar dapat dimakan bersama anak-anaknya. Kata wanita ini, suaminya masih kerja di kebun dan seminggu sekali pulang, baru bisa beli beras.

Rasanya ada yang menyesak di dada menyaksikan gubuk yang hanya beratapkan daun-daunan. Tidak ada perabotan apapun di dalamnya selain dari balai-balai kayu yang beralaskan karung goni bekas yang dijadikan tempat duduk sekaligus sebagai tempat tidur.

Sebagai "tungku" ada enam batu bata yang disusun 3 di kiri dan 3 di kanan, sehingga ada ruang untuk membakar kayu dan meletakkan periuk di atasnya.

Kami minta minta tolong teman yang mengemudi untuk membelikan beras dan satu kardus mie instan. Selang setengah jam, teman kami kembali dengan membawa pesanan saya. Kami serahkan kepada wanita yang sedang merebus jagung tadi.

Dengan berlinang air mata, saking terharunya, berkali-kali ia mengucapkan, "Puji Tuhan" dan "Terima kasih". Padahal apa yang kami berikan harganya tidak lebih dari 200 ribuan, tapi bagi wanita ini dan anak-anaknya sungguh merupakan hadiah luar biasa.

Begitu Juga Sebaliknya 
Mungkin kita bangga, setelah kerja keras selama belasan bahkan puluhan tahun akhirnya bisa mewujudkan impian membeli kendaraan seharga 300 juta Rupiah. Tidak ada salahnya kita mensyukuri keberhasilan kita yang membuahkan hasil. Bagi kita, jumlah ini mungkin suatu nominal yang fantastis mengingat baru mampu mengumpulkannya setelah belasan tahun kerja keras siang dan malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun