Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memang, Memaafkan adalah Ujian Hidup Paling Berat

16 Juni 2018   18:09 Diperbarui: 16 Juni 2018   23:20 2910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: oldyungas.road.bolivia

Berhubung dengan Hari Raya Idul Fitri, di mana mana orang minta maaf dan memaafkan, maka sejujurnya saya ikut latah menuliskan sekelumit tentang satu hal yang paling sulit saya maafkan dalam perjalanan hidup saya, yang sudah melewati tiga perempat abad.

Kalau sekadar memaafkan orang yang meminjam uang dan kemudian saking lamanya tak mengembalikan, tentu  sangat mudah. Begitu juga sering ada yang minjam pulpen, kemudian mungkin karena terburu-buru atau saking senangnya, pulpen tersebut terbawa pergi. Itu juga tidak ada masalah.

Yang lumayan sulit adalah memaafkan sahabat bisnis saya, yang hampir membuat saya gila karena  pengiriman barang sebanyak 65 ton tidak dibayar.

Saya perlu waktu merenung di Rumah Sakit Mount Elisabeth, selama berbulan-bulan lamanya atas kejadian ini, sebelum akhirnya saya dapat memaafkannya. Meski the wisdom words, "When I forgave, I've forgot" tidak mampu saya penuhi.

Saya hanya mampu memaafkan usai berdarah-darah di meja operasi di Rumah Sakit Mt. Elisabeth dan sejak kami tinggal di Australia. Di situ saya baru mampu memenuhi kriteria "memaafkan dan melupakan".

Ujian Hidup 

Suatu waktu, saya menerima surat dari sahabat lama saya yang sudah puluhan tahun terputus kontak. Tentu tak elok bila saya menyebut nama dan alamatnya. Karena itu cukup saya sebutkan sebagai "sahabat saya".

Isi tulisannya  adalah sebagai berikut:

Dengan tangan saya sendiri, saya telah merusak sistem rem kendaraan pak Effendi ketika sedan Corolla pak Effendi sedang diservis di bengkel tetangga saya.

Dengan pikiran jahat, bila hal itu terjadi, saya berharap pinjaman saya pada pak Effendi menjadi lunas. Sungguh saya malu pada Tuhan, pada pak Effendi, pada keluarga saya dan pada diri sendiri. Betapa tega saya melakukan semuanya itu hanya demi uang.

Dengan penuh penyesalan yang mendalam, saya mohon dengan sangat keikhlasan pak Effendi untuk mau memaafkan saya. Agar saya dapat menghadap Sang Pencipta dengan tenang.

Sudah belasan tahun saya dihantui oleh rasa berdosa. Namun saya tidak punya keberanian untuk menghubungi pak Effendi.

Sepatah kata maaf dari Pak Effendi ,maka saya dapat pergi dengan damai.

Usai membaca surat elektronik tersebut, kerongkongan saya tiba-tiba serasa kering. Mata saya nanar menatap surat tersebut. Baru kali ini saya merasakan kegalauan yang luar biasa bergolak dalam jiwa.

Saya mencoba cooling down dan tidak segera menjawab surat tersebut, karena dengan hati yang sedang galau, kalau saya paksakan menjawab, mungkin yang keluar bukanlah kata-kata maaf.

Keesokan harinya saya menerima telepon

Mungkin tidak mampu menunggu jawaban dari saya, tiga hari setelahnya ketika saya baru terbangun, tetiba ada telepon dan ternyata dari sahabat lama saya. Suaranya terputus-putus. Pecah tangisnya.

Entah karena apa, tiba-tiba, hati saya yang tadinya sempat membatu, mencair, dan luluh. Dan dengan setulus hati saya sudah memaafkan sahabat lama saya.

Saya percaya bahwa walaupun saya bukan tipe seorang agamis, tapi Tuhan telah berkenan memberikan saya kekuatan untuk dapat memaafkan sahabat saya.

Sahabat saya berkali-kali menyebutkan Tuhan Mahabesar. Ia lega karena sudah dimaafkan dan saya juga lega karena telah mampu memaafkannya dengan setulus hati.

Sebulan kemudian sahabat saya meninggal dengan damai.

Catatan:

Peristiwanya sudah lama berlalu. Pada waktu anak-anak sekolah libur panjang, maka dengan menggunakan kendaraan pribadi, kami sekeluarga, melakukan perjalanan dari Padang ke Jakarta yang jaraknya sekitar 1.350 km. Menggunakan sedan Corolla yang baru saya beli satu tahun ketika itu.

Demi kenyamanan, saya antarkan ke bengkel, untuk diservis. Bengkel tersebut berlokasi berdampingan dengan rumah sahabat saya, yang sudah saya di atas.

Seperti biasa, saya merasa lebih aman dan leluasa mengemudikan kendaraan sendiri ketimbang mempercayakannya kepada seorang sopir. Saya menyetir, istri saya duduk di samping dan ketiga anak kami duduk di bangku belakang.

Pada  awalnya semuanya berjalan aman, akan tetapi sekitar 3 jam berada di luar kota, ketika berada ditikungan tajam dan saya menginjak rem, ternyata rem sama sekali tidak berfungsi. Saya sudah mencoba menginjak rem berkali-kali .Memompa dengan injakan pada pedal rem dengan harapan bisa berkerja. Namun tetap saja sia-sia. Rem sama sekali tidak bereaksi. Kendaraan meluncur terus dengan kecepatan tinggi.

Keringat dingin membasahi tubuh saya, terbayang istri dan ketiga anak kami berada di dalam kendaraan. Baru kali ini saya merasakan ketakutan yanga amat sangat.

Akan tetapi dalam detik-detik yang menentukan itu, saya bersyukur mendapatkan kekuatan entah dari mana.

Saya tarik rem tangan sekuatnya dan pada waktu yang bersamaan perseneling saya dorong ke perseneling satu.

Ada bunyi berderak keras, tapi roda kendaraan berhenti. Persis jarak setengah meter dari pinggir jurang.

Setir saya putar sehabis-habisnya, agar roda tidak mengelinding. Pintu kendaraan saya buka. Melompat keluar untuk kemudian mengambil batu mengganjal roda kendaran.

Pada  saat  bersamaan, istri dan anak anak saya minta turun perlahan-lahan agar roda mobil tidak meluncur turun. Kami selamat dan semuanya bersujud syukur.

Kini, sahabat saya sudah  pergi dalam damai dan saya dapat melanjutkan hidup tanpa beban. Hidup tanpa dendam.

Sungguh, memaafkan merupakan sebuah kebahagiaan yang tidak ternilai harganya.

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun