Mohon tunggu...
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan praktisi pendidikan

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir S2 di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis dalam genre puisi, cerpen, artikel/esai/opini. Beberapa bukunya telah terbit. Buku puisinya "Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak" menjadi salah satu buku terbaik tk. nasional versi Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Tinggal di Ngawi dan bisa dihubungi melalui email: cahyont@yahoo.co.id, WA 085643653271. No.Rek BCA Cabang Ngawi 7790121109, a.n.Tjahjono Widarmanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Zaman yang Cemas

19 September 2020   21:56 Diperbarui: 19 September 2020   22:11 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada di suatu zaman, di suatu masa; para pemimpin menjadi ragu-ragu dan cemas melihat tanda-tanda zaman yang suram.

Di saat yang sama pula, pun para pemikir dihinggapi kecemasan dan keraguan yang sama, dan mereka gamang untuk menerka 'apa yang akan terjadi?'

Bahkan mereka pun gamang merumuskan upaya-upaya kemungkinan untuk memulihkan kembali perasaan optimismenya.

Beberapa abad lampau tersebutlah seorang Ronggowarsito, filsuf dan sastrawan terakhir Jawa menghadapi keraguan dan kecemasan seperti itu.

Dalam serat Kalatida atau serat 'zaman yang penuh kecemasan', Ronggowarsito menyaksikan fenomena keruntuhan manusia akibat abai terhadap nilai. Ronggowarsito tidak melihat menyoal apakah abai terhadap nilai ini disebabkan pergeseran cara pandang nilai atau hal yang lain, tetapi ia melihat bahwa keabaian pada nilai itu menjadi pintu gerbang kehancuran dan kemerosotan manusia.

Ronggowarsito menyebut tanda-tanda zaman yang suram itu dengan istilah 'zaman edan'. Ronggowarsito merasa gagal untuk mengembalikan kembali segala kemungkinan menata ulang agar manusia bertahan dari keruntuhannya.

Sejarah manusia memang mencatat banyak sekali kekecewaan yang menghapus harapan-harapan. Harapan-harapan yang ideal tak selamanya bisa digayuh manusia, selebihnya adalah kekecewaan atas impian-impian yang gagap terwujud. Bahkan pengkhiatan-pengkhianata atas segala impian itu.

Sungguhpun demikian, segala harapan dan impian tak selayaknya dikubur dalam-dalam. Harus ada semangat dan etos yang heroik untuk melawan segala kecemasan dan keraguan itu. Melalui tokohnya Sishipus, Albert Camus, menampilkan sebuah semangat dan etos yang heroik.

Sisiphus tiada hentinya menggelindingkan batu-batu ke puncak gunung. Berkaili-kali gagal, berulang kali pula menggelindingkan kembali.

Mungkin apa yang dilakukan Sisiphus di atas adalah semacam etos dan semangat heroik yang walau hanya melahirkan ilusi harus tetap dilakukan dengan gembira walau tak mengubah apa-apa.

Zaman-zaman suram dan keraguan memang selalu ada dalam kehidupan manusia untuk itu diperlukan etos yang heroik untuk mengembalikan kepercayaan diri. Dunia memang bukan sorga sehingga tak selamanya impian dan harapan bisa terwujud.

Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana kecemasan dan keraguan itu agar tidak berbiak menjadi putus asa. Ketidaksempurnaan memang bagian dari sifat dunia tapi bukan pembenaran untuk takut merancang masa depan.**

Penulis adalah esais dan penyair yang tinggal di Ngawi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun