Mohon tunggu...
Tiyo Prasetyo
Tiyo Prasetyo Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Menyusun kata, merangkai makna

Belajar baca-tulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Makna Melayani

3 Desember 2011   12:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:53 2623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bertahun-tahun, sejak remaja, saya terlibat dalam kegiatan-kegiatan gereja. Jadi pengurus, pemain musik, panitia ini dan itu, masuk tim olahraga, vokal grup dan paduan suara, aktif berdiskusi bahkan sampai membuat tema2 persekutuan, juga ikut aktif di tingkat klasis (kumpulan beberapa gereja sedenominasi). Saya merasa sudah melayani Tuhan.

Melayani. Itu kata yang sering diucapkan di gereja. Bahkan saking seringnya digunakan, sampai hambar dan kehilangan arti.

Buat kami-kami yang aktif ini, jemaat yang hanya hadir, hanya ikut kebaktian, tidak jadi pengurus, tidak jadi panitia ini dan itu, dalam acara Pemahaman Alkitab lebih suka diam dan tidak mau bertanya, jujur saja.. mereka sering terlupakan, tak dianggap, dan dicap belum melayani.

Setelah belasan tahun 'melayani' di gereja, saya menikah dengan teman sepelayanan. 6 bulan kemudian, kesehatan Mama merosot. Memang kami sudah tahu Mama punya darah tinggi, diabetes dan teman2nya: penyempitan pembuluh jantung, penurunan fungsi ginjal, dst.

22 Desember 2009, Mama mengeluh lemas, seperti mau Flu. Papa juga sama, seperti mau Flu. Bedanya riwayat kesehatan Papa bagus. Alhasil, malam Natal kami lewati menjaga Papa Mama yang sedang sakit di rumah.

Tak lama, Papa sembuh. Tapi kondisi kesehatan Mama yang terus menurun, mendesak kami bawa Mama ke RS dr. Suyoto tanggal 29 Desember 2009. Lalu kemudian 2 Januari 2010 harus mendapat perawatan lebih baik, kami bawa ke RS Medistra.

Di akhir tahun 2009 dan awal 2010 tersebut, saya dan Anna (istri) selalu menunggui Mama di RS. Disana kami belajar melayani Mama dengan sepenuh hati, kami masuk ke sisi gelap dari pelayanan, yaitu pengorbanan. Kami mengorbankan rasa jijik saat menggantikan celana dalam Mama yang penuh dengan kotoran. Kami mengorbankan kenyamanan tidur ketika kami menunggui Mama di RS dengan tidur beralas kain selimut, kalau beruntung bisa tidur di sofa/kursi. Kami mengorbankan waktu ketika harus berangkat subuh dari RS supaya bisa mandi di kantor lalu antar Anna naik bis ke kantornya di BSD lalu masuk kerja di Grogol, lalu sorenya segera kembali ke RS di Kuningan.

Melalui pengalaman pengorbanan itulah, justru makna melayani terpampang jelas. Melayani adalah berkorban. Lalu muncul pertanyaan, apakah hal-hal yang saya lakukan (melayani di gereja) itu pelayanan? Ya dan tidak. Ya, saya mengorbankan waktu, pikiran, tenaga, bahkan uang (untuk nombokin uang program kegiatan, sebagai pengurus). Tapi sekaligus dijawab dengan Tidak, ketika saya melayani bukan untuk orang lain, tapi untuk kepentingan diri sendiri: saya jadi merasa dihargai, dibutuhkan, dipandang, berarti, dst.

Suasana Natal bagi kami tidak lagi seperti dulu: suasana winter, pohon Natal megah berhiaskan lampu kelap-kelip dan kado-kado bertebaran di bawahnya, suasana warna hijau dan merah, sosok kakek gemuk berjanggut putih dan berbaju merah. Kami lebih suka suasana 2 tahun lalu ketika kami belajar melayani dan Tuhan membentuk kami. Disitu kami merasa Tuhan menyatakan kasihNya yang luar biasa hebat melalui peristiwa-peristiwa yang dulu menyedihkan, tapi kini menghangatkan hati ini.

Selamat menyambut Natal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun