Namun perbedaan kualitas tetap terlihat, sentuhan akhir, kecepatan transisi, dan kedalaman bangku cadangan.
Kluivert tampak tenang di pinggir lapangan, tapi sorot matanya menyimpan kecewa yang dalam.
Setelah peluit akhir, ia hanya menepuk pundak anak-anak asuhnya, gestur sederhana yang berarti, "Kalian sudah berjuang."
Dari Euforia ke Realita
Bagi banyak orang, kekalahan ini bukan sekadar soal skor.
Ini tentang realita yang menampar, bahwa untuk sampai ke level dunia, mimpi saja tidak cukup.
Indonesia masih tertinggal dari banyak negara Asia lain, bukan karena talenta, tapi karena sistem.
Liga domestik masih inkonsisten, pembinaan usia muda belum masif, dan infrastruktur sepak bola di banyak daerah masih seadanya.
Namun, pencapaian sampai ronde 4 ini tetap harus diapresiasi.
Dulu kita bahkan tidak bisa membayangkan akan berhadapan dengan Arab Saudi atau Irak di babak akhir kualifikasi. Sekarang, kita berdiri di sana, walau akhirnya tersungkur.
Jejak Luka yang Berharga
Setiap kekalahan meninggalkan luka, tapi juga pelajaran.
Para pemain muda seperti Marselino Ferdinan dan Elkan Baggott kini tahu seperti apa rasanya bertarung di level Asia top-tier.