Bakhrul sempat berkata lirih,
"Mas kawin fantastis itu sah-sah saja, tapi resikonya besar. Kalau ternyata palsu, ya urusannya duniawi."
Kalimat itu menggambarkan dilema nyata di masyarakat, agama menuntun pada kesucian, tapi manusia sering kali memanfaatkan simbol suci itu untuk menipu.
Pola Penipu Ulung
Jika ditelusuri, gaya Tarman tidak berbeda jauh dengan penipu cinta lainnya.
Ia paham cara memainkan emosi dan situasi.
- Dengan tampil sopan, berbicara lembut, dan membawa cerita sukses masa lalu, ia menciptakan ilusi "kakek baik hati dan dermawan".
- Mobil mewah rental, cek bank, dan gaya bicara percaya diri, semua dirancang untuk menipu mata, bukan logika.
- Mengaku kesepian, ingin menikah di usia tua, dan mencari pendamping hidup yang tulus. Siapa yang tidak luluh oleh narasi seperti itu?
- Begitu kepercayaan penuh didapat, Tarman akan menghilang tanpa jejak, meninggalkan korban dalam kebingungan dan rasa malu.
Fenomena Cinta dan Penipuan di Era Digital
Kasus Tarman bukan sekadar kriminalitas individu; ini fenomena sosial.
Di era digital, batas antara realitas dan ilusi semakin kabur.
Kita percaya apa yang viral, tanpa sempat bertanya, "Benarkah?"
Banyak orang mencari cinta di tengah rasa sepi yang kronis.
Ketika ada sosok datang dengan perhatian dan janji besar, otak rasional sering kali kalah oleh rasa ingin dipercaya.
Psikolog menyebut fenomena ini sebagai "emotional trap", jebakan emosi yang membuat seseorang rela menutup mata terhadap tanda bahaya, hanya karena ingin merasakan cinta atau pengakuan.