Suatu pagi di bulan Juni 2026, aku bangun bukan karena alarm, tapi karena suara tetangga teriak dari halaman rumah, "BROOO! INDONESIA MASUK PIALA DUNIA!!"
Aku refleks bangun, belum gosok gigi, langsung buka ponsel. Dan di layar, ada notifikasi yang bikin jantung copot, bukan dari mantan, tapi dari FIFA.
Tulisan besar di sana, "Indonesia qualifies for FIFA World Cup 2026." Diam lima detik. Kemudian aku menjerit seperti habis menemukan diskon 90% di tiktok.
Andai Indonesia lolos Piala Dunia 2026, euforia nasional pecah; dari humor, harapan, hingga kebanggaan jadi satu, menggambarkan semangat dan mimpi rakyat Indonesia. - Tiyarman Gulo
Dari Tim Penggembira Jadi Pusat Dunia
Mari kita jujur sebentar. Selama puluhan tahun, kita nonton Piala Dunia cuma untuk mendukung negara lain. Brasil, Jerman, Argentina, terserah. Pokoknya bukan Indonesia.
Karena kita tahu, kalau mau lihat Indonesia di Piala Dunia, ya paling di kolom Breaking News, "Wasit dari Indonesia memimpin pertandingan pembuka."
Tapi beberapa tahun terakhir, sesuatu berubah. Nama-nama seperti Jay Idzes, Ivar Jenner, Ragnar Oratmangoen mulai bikin kita berani bermimpi.
Timnas kita bukan cuma isi poster di warung kopi, tapi mulai punya performa yang bikin lawan-lawan Asia mikir dua kali sebelum menyepelekan.
Dulu, kita nonton pertandingan Timnas sambil bilang, "Udah lah, yang penting main bagus aja, nggak usah menang." Sekarang?
Begitu kalah tipis aja, timeline langsung meledak, "Kapan STY keluarin jurus pamungkasnya?"
Indonesia akhirnya sampai ke putaran keempat kualifikasi. Delapan tiket Asia untuk Piala Dunia terasa seperti harapan di ujung Indomie, kelihatan kecil, tapi nikmat kalau benar-benar kejadian.
Nasionalisme Dadakan dan Pakar Bola Instan
Begitu Indonesia benar-benar lolos, yakin deh, rakyat Indonesia langsung berubah total. Mendadak semua orang jadi football expert.
Yang biasanya komentar di TikTok soal skincare, tiba-tiba bahas high pressing dan tactical awareness.
Di Twitter (eh, X maksudnya), muncul utas panjang dari akun random, "Sebenernya pola permainan Indonesia itu mirip kombinasi tiki-taka Barcelona dan gegenpressing-nya Klopp, tapi lebih spiritual."