Sebuah kota di Asia Tenggara yang nyaris tak punya cahaya. Lampu neon di jalanan berkedip pelan, seakan lelah melawan kegelapan malam. Di balik bayangan gedung tua yang lusuh, seorang pria berlari terseok, napasnya berat, tubuhnya penuh luka. Namanya Wang Wei (Xie Miao), seorang ayah yang hanya punya satu tujuan, menemukan putrinya yang diculik sindikat perdagangan anak.
Di sisi lain kota, seorang jurnalis bernama Navin (Joe Taslim) menyalakan kamera, bukan untuk mencari sensasi, melainkan untuk mencari kebenaran. Istrinya hilang secara misterius, dan ia menolak menyerah pada gelapnya dunia. Dua manusia yang sama-sama hancur, dipertemukan oleh nasib dalam sebuah pusaran aksi, intrik, dan dilema moral.
Itulah The Furious, film aksi terbaru garapan sutradara Jepang Tanigaki Kenji. Nama Kenji mungkin sudah tidak asing bagi para pencinta film laga, ia dikenal sebagai koreografer aksi di berbagai film internasional, termasuk franchise besar. Tapi kali ini, ia tidak hanya menyajikan pertarungan seru, melainkan juga menghadirkan cerita dengan kedalaman emosional yang jarang muncul di genre ini.
Dan hasilnya? Luar biasa. Film ini langsung menuai sorotan internasional, bahkan meraih rating sempurna 100% di Rotten Tomatoes dari ulasan awal kritikus.
The Furious hadirkan aksi brutal penuh emosi. Joe Taslim & Xie Miao berjuang melawan sindikat gelap dengan sentuhan kemanusiaan. - Tiyarman Gulo
Kedalaman Karakter, Lebih dari Sekadar Balas Dendam
Salah satu hal paling menarik dari The Furious adalah caranya meramu karakter. Banyak film laga yang sering jatuh pada jebakan "aksi demi aksi", dengan tokoh utama hanya dijadikan mesin pukul tanpa lapisan emosional. Namun Kenji mengambil jalur berbeda.
Wang Wei digambarkan sebagai ayah yang remuk tapi keras kepala. Ia tidak punya apa-apa lagi kecuali tekad untuk membawa pulang anaknya. Luka di tubuhnya bukan sekadar fisik, tapi juga batin, dan setiap langkahnya adalah perlawanan terhadap dunia yang merenggut kebahagiaannya.
Sementara itu, Navin bukan tipikal sidekick atau figuran tambahan. Ia adalah jurnalis yang terbakar amarah sekaligus ketakutan. Kehilangan istrinya membuatnya terjun ke dunia gelap yang sebelumnya hanya ia liput dari jauh. Kamera di tangannya menjadi simbol, senjata untuk merekam kebenaran, sekaligus pengingat bahwa manusia bisa melawan ketidakadilan dengan cara berbeda.
Chemistry keduanya terasa natural. Ada adegan di mana mereka saling curiga, saling menguji, sebelum akhirnya menyadari bahwa mereka punya musuh yang sama. Dari titik itulah, film berkembang menjadi lebih dari sekadar cerita balas dendam. Ini tentang keadilan, pengorbanan, dan rasa kemanusiaan yang tetap hidup meski dunia di sekitarnya hancur.
Dan tentu saja, kehadiran aktor Indonesia Joe Taslim dan Yayan Ruhian membuat film ini semakin bernyawa. Joe membawa karisma dingin sekaligus rapuh sebagai Navin, sementara Yayan tampil dengan intensitas khasnya yang membuat setiap adegan laga jadi hidup. Ada juga Brian Le, Joey Iwanaga, dan Sahajak Boonthanakit yang melengkapi ensemble internasional ini.
Kota Fiksi Asia Tenggara, Dunia Gelap yang Terasa Nyata
Salah satu kekuatan The Furious ada pada setting-nya. Kota fiksi yang digambarkan film ini memang tidak diberi nama, tapi atmosfernya terasa sangat dekat dengan realitas Asia Tenggara. Lorong-lorong sempit, pasar malam yang suram, gedung-gedung tua peninggalan kolonial, semua digambarkan dengan detail yang membuat penonton percaya bahwa sindikat gelap bisa bersembunyi di baliknya.
Kenji dengan cerdas menjadikan kota ini bukan sekadar latar, tapi juga karakter. Setiap jalanan adalah jebakan, setiap pintu bisa menyembunyikan ancaman. Kota itu seolah berkata, "Tidak ada tempat yang benar-benar aman."