Pernah nggak sih kamu merasa bingung mau nongkrong di mana? Kadang kafe sudah terlalu ramai, coworking space terasa kaku, mall terlalu bising, sementara rumah malah bikin mager. Lalu tiba-tiba ada ide muncul, "Eh, nongkrong di toko buku aja kali, ya?"
Dulu, toko buku hanya tempat singgah sebentar. Masuk, cari buku, bayar, pulang. Selesai. Tapi sekarang, toko buku menjelma jadi ruang publik yang lebih hidup. Interiornya kece, ada coffee corner, musiknya menenangkan, bahkan beberapa menyediakan spot foto estetik. Tiba-tiba, toko buku bukan sekadar tempat beli buku, tapi juga jadi tempat "healing" sederhana yang bikin hati adem.
Fenomena ini menarik, karena mengubah cara kita memandang buku dan ruang baca. Dari yang biasanya dianggap serius dan sepi, sekarang bisa terasa hangat, ramah, bahkan instagramable.
Bookstore kini bukan sekadar beli buku, tapi ruang estetik dan cozy untuk nongkrong, ngopi, healing, hingga berbagi inspirasi bersama komunitas. - Tiyarman Gulo
Dari Rak Kaku ke Ruang Estetik, Evolusi Bookstore
Kalau kamu ingat toko buku zaman dulu, pasti bayangannya rak-rak tinggi penuh buku, pencahayaan neon putih yang agak dingin, dan suasana hening yang membuatmu segan untuk ngobrol keras-keras. Buku dipajang rapi, tapi fungsinya cuma satu, jualan.
Sekarang? Bookstore makin kreatif. Contohnya Gramedia Jalma. Interior kayu, cahaya kuning hangat, ada coffee corner yang mengundang orang untuk duduk berlama-lama. Raknya tetap penuh buku, tapi ditata dengan desain yang bikin nyaman dipandang. Rasanya kayak gabungan antara kafe, perpustakaan, dan ruang tamu modern.
Dan bukan hanya Gramedia. Toko independen juga ikut berbenah. Banyak yang sengaja membuat suasana cozy dengan sofa empuk, meja kayu panjang untuk diskusi, bahkan mural artistik di dinding. Hasilnya, toko buku bukan lagi sekadar ruang transaksi, melainkan ruang interaksi.
Kenapa Nongkrong di Toko Buku Jadi Tren?
Ada beberapa alasan kenapa orang sekarang suka nongkrong di bookstore,
- Suasana tenang tapi nggak membosankan. Beda dengan kafe yang kadang terlalu ramai, toko buku punya atmosfer lebih kalem. Kamu bisa baca, kerja, atau sekadar duduk tanpa merasa terganggu.
- Estetika yang memanjakan mata. Desain interior bookstore kekinian memang instagramable. Rak kayu, pencahayaan hangat, tanaman hias, sampai spot foto khusus jadi daya tarik tersendiri.
- Ada coffee corner. Nggak lengkap rasanya nongkrong tanpa kopi atau teh. Bookstore modern paham betul ini. Maka, hadirlah sudut kafe kecil di tengah toko buku.
- Ruang healing sederhana. Banyak orang merasa lebih tenang berada di antara rak buku. Bahkan tanpa membeli apapun, sekadar menyentuh sampul buku dan mencium aroma kertas sudah cukup bikin hati adem.
- Komunitas dan event. Beberapa toko buku rutin mengadakan diskusi, bedah buku, atau acara komunitas. Ini bikin orang betah datang bukan hanya untuk beli buku, tapi juga untuk berjejaring.
Contoh Bookstore Kece yang Bikin Betah
1. Gramedia Jalma
Sudah jadi ikon modernisasi bookstore di Indonesia. Dengan desain cozy, coffee corner, dan tata ruang yang ramah, Gramedia Jalma berhasil mengubah citra Gramedia yang dulu "serius" jadi lebih hangat.
2. Toko Buku Independen
Misalnya POST Bookshop di Jakarta atau Patjarmerah di Yogyakarta. Walaupun kecil, mereka punya daya tarik unik. Atmosfernya personal, sering ada event komunitas, dan koleksi bukunya lebih kurasi. Rasanya seperti ngobrol langsung dengan pemilik toko.
3. Fenomena Global
Kalau kamu pernah dengar Tsutaya Books di Jepang atau Eslite Bookstore di Taiwan, inilah pionir konsep bookstore modern. Interiornya mewah, ada lounge, restoran, bahkan ruang kerja. Mereka berhasil menjadikan toko buku sebagai destinasi wisata.
Nostalgia vs Modernitas
Sebagian orang mungkin kangen dengan suasana toko buku klasik yang hening, seolah memberi ruang refleksi. Tapi bookstore modern justru menawarkan keseimbangan, tetap ada ruang untuk membaca, tapi juga terbuka untuk ngobrol, ngopi, bahkan bersosialisasi.
Dari sisi bisnis, ini juga langkah cerdas. Industri buku cetak memang terdampak digitalisasi, tapi dengan menghadirkan pengalaman ruang yang unik, bookstore bisa bertahan. Orang datang bukan sekadar beli buku, tapi juga beli suasana.
Healing Murah Meriah di Antara Rak Buku
Bayangkan ini, kamu masuk ke toko buku, mengambil satu novel, lalu duduk di pojokan coffee corner dengan secangkir latte. Musik instrumental mengalun pelan, cahaya lampu kuning bikin nyaman, dan sesekali aroma kopi bercampur dengan bau khas kertas baru.
Rasanya seperti dunia melambat. Kamu bisa rehat sejenak dari hiruk-pikuk hidup, tanpa harus pergi jauh atau mengeluarkan banyak uang.
Inilah kenapa banyak orang menyebut nongkrong di bookstore sebagai bentuk healing murah meriah.
Bookstore sebagai Ruang Publik Masa Depan
Tren ini sebenarnya bagian dari pergeseran gaya hidup. Generasi muda sekarang nggak hanya mencari barang, tapi juga mencari pengalaman. Mereka ingin tempat yang bisa memadukan fungsi, belajar, bekerja, bersantai, sekaligus bersosialisasi.
Bookstore bisa jadi jawabannya. Dengan sedikit inovasi, toko buku bisa terus hidup bahkan di era digital. Ia bisa jadi ruang publik alternatif di tengah kota, tempat di mana orang-orang bertemu bukan karena urusan bisnis, tapi karena cinta pada buku dan suasana.
Mana Bookstore Favoritmu?
Kalau kamu ditanya, lebih suka nongkrong di kafe atau di toko buku? Jawabannya mungkin sekarang mulai bergeser. Karena toko buku nggak lagi kaku dan membosankan, tapi justru hangat, estetik, dan menyenangkan.
Nah, kalau kamu punya pengalaman unik nongkrong di bookstore tertentu, coba ceritakan. Siapa tahu rekomendasimu jadi destinasi healing sederhana buat orang lain juga.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI