Dari sisi bisnis, ini juga langkah cerdas. Industri buku cetak memang terdampak digitalisasi, tapi dengan menghadirkan pengalaman ruang yang unik, bookstore bisa bertahan. Orang datang bukan sekadar beli buku, tapi juga beli suasana.
Healing Murah Meriah di Antara Rak Buku
Bayangkan ini, kamu masuk ke toko buku, mengambil satu novel, lalu duduk di pojokan coffee corner dengan secangkir latte. Musik instrumental mengalun pelan, cahaya lampu kuning bikin nyaman, dan sesekali aroma kopi bercampur dengan bau khas kertas baru.
Rasanya seperti dunia melambat. Kamu bisa rehat sejenak dari hiruk-pikuk hidup, tanpa harus pergi jauh atau mengeluarkan banyak uang.
Inilah kenapa banyak orang menyebut nongkrong di bookstore sebagai bentuk healing murah meriah.
Bookstore sebagai Ruang Publik Masa Depan
Tren ini sebenarnya bagian dari pergeseran gaya hidup. Generasi muda sekarang nggak hanya mencari barang, tapi juga mencari pengalaman. Mereka ingin tempat yang bisa memadukan fungsi, belajar, bekerja, bersantai, sekaligus bersosialisasi.
Bookstore bisa jadi jawabannya. Dengan sedikit inovasi, toko buku bisa terus hidup bahkan di era digital. Ia bisa jadi ruang publik alternatif di tengah kota, tempat di mana orang-orang bertemu bukan karena urusan bisnis, tapi karena cinta pada buku dan suasana.
Mana Bookstore Favoritmu?
Kalau kamu ditanya, lebih suka nongkrong di kafe atau di toko buku? Jawabannya mungkin sekarang mulai bergeser. Karena toko buku nggak lagi kaku dan membosankan, tapi justru hangat, estetik, dan menyenangkan.
Nah, kalau kamu punya pengalaman unik nongkrong di bookstore tertentu, coba ceritakan. Siapa tahu rekomendasimu jadi destinasi healing sederhana buat orang lain juga.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI