Ribuan orang berkumpul, suara orasi bergema, poster-poster tuntutan diangkat tinggi, dan hawa panas Jakarta tak menghalangi semangat mereka. Di antara kerumunan itu, ada mahasiswa, pekerja, ibu rumah tangga, hingga aktivis yang bersatu dalam satu suara, "Dengar kami!"
Aksi itu dikenal dengan sebutan 17+8 Tuntutan Rakyat. Sebuah gerakan yang menagih janji-janji reformasi, meminta DPR dan pemerintah benar-benar menjadi pelayan rakyat, bukan sekadar penikmat fasilitas negara. Dari namanya saja sudah jelas, ada 17 tuntutan utama dan 8 tambahan. Targetnya sederhana, meski terdengar berat, yakni mendorong perubahan konkret di tubuh lembaga legislatif, aparat keamanan, hingga tata kelola negara.
Beberapa minggu bersuara di jalanan akhirnya berbuah. DPR RI resmi mengumumkan serangkaian keputusan yang mereka klaim sebagai bentuk keseriusan menanggapi aspirasi rakyat. Mulai dari penghapusan tunjangan rumah, moratorium kunjungan kerja ke luar negeri, hingga pemangkasan sejumlah fasilitas lain. Kedengarannya manis, tapi benarkah cukup?
DPR pangkas fasilitas usai aksi 17+8, tapi aktivis menilai masih banyak tuntutan rakyat belum dijawab, terutama soal keadilan dan reformasi. - Tiyarman Gulo
Dari Teriakan Jalanan ke Ruang Sidang
Sejak awal, 17+8 Tuntutan Rakyat memang bukan aksi kecil. Tuntutan itu lahir dari kekecewaan panjang terhadap gaya hidup mewah pejabat, kasus korupsi yang tak kunjung habis, serta ketidakadilan hukum yang dirasakan rakyat.
Masyarakat menagih hal-hal sederhana tapi penting,
- transparansi anggaran DPR,
- pembentukan tim investigasi independen untuk kasus pelanggaran HAM,
- penghentian penggunaan TNI dalam pengamanan sipil,
- reformasi institusi Polri,
- serta pembebasan aktivis yang masih ditahan.
Dengan kata lain, ini bukan sekadar soal fasilitas DPR, tapi soal keadilan dan keberpihakan negara kepada rakyatnya.
Namun, hingga batas waktu yang ditetapkan (5 September 2025), DPR baru menepati tiga tuntutan,
- Membekukan kenaikan gaji/tunjangan anggota DPR dan membatalkan fasilitas baru.
- Memublikasikan anggaran DPR secara proaktif dan berkala.
- Mendorong Badan Kehormatan DPR untuk memeriksa anggota yang melecehkan aspirasi rakyat.
Di atas kertas, tiga poin ini terdengar positif. Tapi kalau melihat 17+8 tuntutan yang jauh lebih luas, jelas masih banyak PR yang belum tersentuh.
Pemangkasan Fasilitas, Simbol atau Substansi?
Langkah yang paling mencuri perhatian adalah penghapusan tunjangan perumahan anggota DPR mulai 31 Agustus 2025. Keputusan itu disampaikan langsung oleh Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad.
"Ini komitmen nyata kami mendengarkan suara rakyat," katanya dengan penuh keyakinan.
Selain itu, DPR juga menghentikan sementara seluruh kunjungan kerja ke luar negeri per 1 September 2025. Hanya undangan resmi kenegaraan yang tetap dijalankan. Ditambah lagi, ada pemangkasan biaya langganan, listrik, telepon, hingga transportasi. Bahkan anggota DPR yang dinonaktifkan oleh partainya kini tak lagi menerima gaji maupun fasilitas.