Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rumah Eko Patrio Dijarah Masa adalah Bentuk Potret Amarah Publik?

2 September 2025   00:30 Diperbarui: 1 September 2025   18:31 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakan rumah anggota DPR Eko Patrio yang sempat dijarah warga, Minggu (31/8/2025). Hanifah Salsabila 

Rumah Eko Patrio, anggota DPR RI nonaktif sekaligus artis komedi terkenal, setelah didatangi dan dijarah massa pada Sabtu (30/8/2025) malam. Adegan ini bukan potongan film drama, tapi kenyataan yang membuat banyak orang terdiam, bagaimana bisa rumah seorang pejabat negara sekaligus figur publik menjadi sasaran amukan warga?

Rumah Eko Patrio dijarah massa, mencerminkan amarah publik, krisis kepercayaan pada pejabat, dan rapuhnya rasa aman masyarakat. - Tiyarman Gulo

Kilas Balik Kejadian, Dari Kerumunan ke Penjarahan

Menurut kesaksian warga dan petugas keamanan kompleks, massa mulai berkumpul sejak malam hari. Awalnya hanya terlihat seperti kerumunan biasa, namun semakin larut malam, suasana berubah tegang. Sekitar pukul 22.00 WIB, massa yang tak sabar akhirnya memaksa masuk.

Petugas keamanan kompleks, meski sudah berusaha, tak mampu menahan arus orang yang berbondong-bondong. Pintu rumah dijebol, massa masuk, dan sejumlah barang dilaporkan raib. Saat kejadian, rumah Eko dalam keadaan kosong, ia dan keluarga tidak berada di lokasi.

Bagi warga sekitar, malam itu terasa seperti mimpi buruk. Suara kaca pecah, teriakan, dan langkah kaki berhamburan membuat suasana kompleks yang biasanya damai berubah jadi medan amarah.

Kenapa Massa Bisa Sampai Segitunya?

Pertanyaan besar pun muncul, apa yang membuat massa begitu marah sampai harus melampiaskan dengan cara ekstrem seperti itu?

Fenomena ini bisa dibaca dari beberapa sisi,

  1. Kekecewaan pada Pejabat Publik
    Masyarakat sering merasa janji politik hanya jadi angin lalu. Ketika seorang pejabat juga dikenal sebagai artis, ekspektasi publik biasanya lebih tinggi. Ketika kenyataan tak seindah citra di layar kaca, rasa kecewa bisa berubah jadi kemarahan.
  2. Krisis Kepercayaan
    Penjarahan rumah pejabat bukan sekadar tindak kriminal, tapi simbol hilangnya kepercayaan. Publik seakan ingin menunjukkan, "Kami tidak percaya lagi."
  3. Amarah yang Menular
    Dalam situasi massa, emosi sering meledak tanpa kendali. Orang yang awalnya hanya ikut-ikutan bisa terbawa suasana. Itulah mengapa kerumunan bisa berubah jadi amukan dalam hitungan menit.

Eko Patrio, Dari Panggung Komedi ke Panggung Politik

Eko Patrio bukan nama asing. Sejak era 90-an, ia dikenal sebagai pelawak di grup Patrio. Citra yang melekat adalah sosok ceria, jenaka, dan dekat dengan rakyat. Namun, ketika ia masuk ke dunia politik, ceritanya berubah.

Sebagai anggota DPR, Eko tentu menghadapi sorotan berbeda. Publik tak lagi hanya melihat sisi kocaknya, tapi juga menuntut tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. Perpaduan dua identitas, artis dan politisi, kadang membuat publik merasa "dikhianati".

Bagi sebagian orang, artis yang jadi pejabat harus bisa membuktikan diri lebih baik, karena modal popularitas sudah ia miliki. Tapi ketika publik merasa ekspektasi itu tak terpenuhi, kekecewaan bisa jadi berlipat ganda.

Dampak Sosial, Warga Sekitar Ikut Menanggung

Penjarahan ini bukan hanya berdampak pada Eko Patrio dan keluarganya. Warga kompleks juga ikut terkena imbas.

  • Rasa Aman Hilang
    Bayangkan tinggal di kompleks yang biasanya sepi dan aman, tiba-tiba menjadi lokasi penjarahan massal. Wajar kalau warga kini merasa was-was.
  • Satpam dalam Tekanan
    Satpam yang bertugas malam itu jadi sorotan. Mereka dianggap tak mampu menjaga keamanan, padahal berhadapan dengan massa dalam jumlah besar jelas bukan perkara mudah.
  • Stigma Lingkungan
    Kompleks perumahan yang dulu dianggap prestisius kini jadi bahan omongan publik. Orang luar mungkin akan melihatnya dengan tatapan berbeda, "Oh, itu kompleks rumah Eko yang dijarah."

Fenomena Massa vs Hukum

Peristiwa ini membuka pertanyaan besar, kenapa masyarakat memilih main hakim sendiri?

Di satu sisi, kita bisa memaklumi bahwa amarah kolektif seringkali muncul dari rasa frustrasi. Masyarakat yang merasa tak didengar, akhirnya mencari cara lain untuk "membalas". Namun di sisi lain, tindakan seperti ini jelas merugikan banyak pihak.

  • Hukum jadi tak dihargai
    Kalau setiap kekecewaan dilampiaskan dengan cara merusak atau menjarah, hukum tak lagi punya wibawa.
  • Potensi salah sasaran
    Bagaimana jika rumah itu hanya dijaga ART atau kerabat yang tak tahu apa-apa? Mereka bisa jadi korban ketidakadilan.
  • Preseden berbahaya
    Jika penjarahan rumah pejabat dianggap "normal", maka ke depan bisa terjadi hal serupa pada tokoh lain.

Apakah Ini Tanda Demokrasi Kita Rapuh?

Kejadian di rumah Eko Patrio mungkin terlihat sebagai insiden kriminal biasa, tapi jika ditarik lebih jauh, ini bisa dibaca sebagai alarm keras, kepercayaan rakyat pada pejabat mulai rapuh.

Ketika rakyat sudah tak percaya jalur hukum atau mekanisme resmi, mereka menciptakan "keadilan jalanan" versi sendiri. Demokrasi yang sehat seharusnya memberi ruang aman bagi aspirasi, bukan ruang amuk di jalanan atau rumah pejabat.

Refleksi, Amarah Publik, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Peristiwa ini meninggalkan banyak pertanyaan. Apakah Eko Patrio memang punya kesalahan besar hingga memicu amarah? Apakah ini sekadar luapan emosi spontan? Atau ada pihak-pihak yang sengaja memprovokasi?

Yang jelas, rumah yang dijarah hanyalah simbol. Pesannya jauh lebih dalam, rakyat ingin didengar.

Bagi pejabat publik, ini bisa jadi cermin bahwa jabatan bukan hanya soal kekuasaan, tapi juga soal kepercayaan. Dan sekali kepercayaan itu hilang, amarah publik bisa datang kapan saja, di mana saja, dengan cara yang tak terduga.

Penutup, Antara Harapan dan Ketakutan

Kini, rumah Eko Patrio berdiri dengan pagar berantai dan coretan di dinding. Bukan lagi sekadar hunian, melainkan saksi bisu amarah masyarakat.

Kita mungkin bisa mengutuk tindakan anarkis massa, tapi kita juga tak bisa menutup mata terhadap akar persoalannya, ada jarak yang makin lebar antara rakyat dan pejabatnya.

Pertanyaannya, apakah kita akan membiarkan jurang ini makin menganga? Atau justru menjadikannya titik balik untuk membangun kembali kepercayaan?

Pada akhirnya, tragedi rumah Eko Patrio bukan hanya tentang satu orang atau satu malam. Ia adalah cermin tentang kita semua, tentang rakyat yang kecewa, pejabat yang lupa, dan sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada keadilan.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun