Punya satu pekerjaan utama yang gajinya sudah tinggi, penuh fasilitas, dan jelas bergengsi. Tapi, di saat yang sama, kamu juga duduk di kursi lain dengan gaji tambahan, fasilitas tambahan, bahkan akses kekuasaan tambahan. Enak? Tentu saja. Tapi, apakah itu sehat untuk publik?
Nah, inilah yang selama bertahun-tahun terjadi di pemerintahan kita. Bukan rahasia lagi, banyak pejabat publik yang "merangkap jabatan" di perusahaan negara alias BUMN. Fenomena ini lama-lama jadi bahan sindiran masyarakat. Orang bilang, "jabatan publik kok jadi kayak kursi lipat, bisa dipakai rangkap-rangkap."
Dan akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) turun tangan. Lewat putusan nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang diketok pada Kamis (28/8/2025), MK resmi melarang wakil menteri (wamen) untuk rangkap jabatan, termasuk sebagai komisaris di BUMN. Putusan ini seolah jadi gong besar. Cukup sudah praktik rangkap jabatan, saatnya pejabat fokus pada tugas utamanya.
MK melarang wakil menteri rangkap jabatan di BUMN agar fokus urus kementerian, bebas konflik kepentingan, dan menjaga tata kelola pemerintahan. - Tiyarman Gulo
Kenapa Rangkap Jabatan Itu Jadi Sorotan?
Kalau kita balik ke kehidupan sehari-hari, coba bayangkan seorang dokter yang juga jadi supir ojek online, lalu masih nyambi jadi MC kondangan. Bisa jalan? Mungkin bisa. Tapi, apakah ia bisa maksimal dalam pekerjaan utamanya? Rasanya sulit.
Begitu juga dengan pejabat publik. Mereka sudah punya tanggung jawab besar di kementerian, mengurus kebijakan yang menyentuh hajat hidup orang banyak. Tapi kalau masih duduk di kursi komisaris BUMN, otomatis perhatian mereka terpecah.
Lebih parah lagi, rangkap jabatan ini bisa menciptakan konflik kepentingan. Misalnya, seorang wamen yang duduk di kursi kementerian pengawas industri energi, tapi juga jadi komisaris di perusahaan energi. Lalu, kepentingannya berpihak ke mana? Ke rakyat atau ke perusahaan?
Fenomena ini membuat publik sering geleng-geleng kepala. Apalagi gaji komisaris BUMN itu bukan recehan. Rata-rata bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan. Belum lagi fasilitas dan bonus tahunan.
Putusan MK
Ketua MK, Suhartoyo, menegaskan bahwa Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945, khususnya jika tidak dimaknai sebagai larangan bagi menteri dan wakil menteri untuk rangkap jabatan.
Intinya, MK menyamakan aturan untuk menteri dan wamen. Keduanya dilarang rangkap jabatan. Bukan hanya di BUMN, tapi juga di perusahaan swasta atau organisasi yang dibiayai APBN/APBD.
Hakim MK Enny Nurbaningsih menambahkan, alasan utamanya adalah agar para wakil menteri fokus mengurus kementerian. Mereka tidak boleh terdistraksi oleh kepentingan lain di luar itu. Dalam sidang, Enny bilang, larangan ini juga erat kaitannya dengan prinsip penyelenggaraan negara yang bersih, bebas konflik kepentingan, dan good governance.
MK pun memberikan waktu maksimal dua tahun. Artinya, sampai 2027, semua wamen yang masih rangkap jabatan wajib memilih. Mau tetap jadi wakil menteri atau tetap duduk di kursi komisaris BUMN.