Ini semua bukan soal kemewahan, ini soal martabat. Merokok adalah pilihan gaya hidup, sebuah keinginan. Sementara fasilitas untuk ibu, anak, lansia, dan difabel adalah soal pemenuhan hak dasar, sebuah kebutuhan agar mereka bisa bepergian dengan aman dan manusiawi. Dengan membenturkan dua hal ini, Gibran memaksa kita untuk bertanya jika anggaran dan ruang terbatas, mana yang akan kita dahulukan? Jawabannya menjadi sangat jelas.
2. Berpijak pada Aturan Main yang Ada
Argumen Gibran tidak mengawang-awang. Ia memijakkan logikanya pada fondasi hukum yang sudah berlaku. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang memang sudah mengatur larangan merokok di transportasi umum.
Ini menunjukkan bahwa sikapnya bukan sekadar preferensi pribadi, melainkan penegakan aturan yang sudah ada. Ini adalah cara untuk mengatakan,Â
"Kita sudah punya kesepakatan bersama sebagai bangsa bahwa ruang publik, termasuk transportasi, harus bebas dari asap rokok demi kesehatan. Mari kita konsisten dengan itu."
3. Selaras dengan Visi yang Lebih Besar
Dengan menyatakan, "Saya ingin menekankan bahwa kebijakan di sektor transportasi harus selaras dengan visi Presiden Prabowo Subianto di bidang kesehatan," Gibran menempatkan isu ini dalam bingkai yang lebih strategis. Ini bukan lagi perdebatan kecil soal satu gerbong kereta. Ini adalah tentang konsistensi arah kebijakan pemerintah secara keseluruhan. Pesannya jelas, setiap keputusan, sekecil apa pun, harus mendukung tujuan besar bangsa, dalam hal ini adalah peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.
Arah Baru Desain Kebijakan Publik
Pada akhirnya, perdebatan ini memberikan kita sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana seharusnya kebijakan publik dirancang. Ia mengajarkan kita bahwa "melayani semua" bukan berarti mengakomodasi setiap keinginan tanpa terkecuali. Melayani semua berarti memastikan bahwa mereka yang paling sering terpinggirkan dan paling membutuhkan justru mendapatkan prioritas utama.
Jawaban Gibran adalah sebuah manifesto mini tentang kebijakan publik yang berempati. Sebuah kebijakan yang tidak hanya dihitung dengan angka dan statistik, tetapi juga dengan rasa. Ia mengajak kita untuk melihat ruang publik dari mata seorang ibu menyusui, dari kursi roda seorang difabel, dari langkah rapuh seorang lansia.
Prioritas yang Memanusiakan
Usulan gerbong khusus merokok mungkin lahir dari niat baik untuk mengakomodasi. Namun, respons dari Gibran mengingatkan kita bahwa di atas niat baik, ada yang namanya skala prioritas. Dan prioritas tertinggi dalam sebuah negara yang beradab adalah melindungi dan memanusiakan warganya, terutama mereka yang paling rentan.
Kemajuan sebuah bangsa tidak hanya diukur dari seberapa cepat keretanya melaju, tetapi juga dari seberapa nyaman seorang ibu bisa menyusui bayinya di dalam kereta itu. Dan dalam hal ini, sebuah ruang laktasi yang layak jelas jauh lebih berharga daripada seribu gerbong smoking area.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI