Seorang pemimpin berdiri tegak di hadapan rakyatnya yang marah. Bukannya meredam, ia justru menuang bensin ke api yang sudah berkobar. Dengan suara lantang, ia berkata,Â
"Bukan hanya 5.000, 50.000 orang pun saya hadapi. Saya tidak akan gentar, saya tidak akan mengubah keputusan."
Kalimat itu, diucapkan oleh Bupati Pati, Sudewo, terdengar seperti dialog film laga. Gagah, tegas, dan tak tergoyahkan. Tembok arogansi yang seolah mustahil diruntuhkan. Namun, dalam hitungan hari, tembok itu runtuh berkeping-keping. Bukan oleh 50.000 massa, tapi oleh sesuatu yang jauh lebih kuat. Kombinasi dahsyat antara suara rakyat yang menggema di seluruh negeri dan satu perintah singkat dari Istana Presiden.
Ini bukan sekadar berita daerah. Ini adalah drama kolosal tentang kekuasaan, keangkuhan, dan pelajaran mahal yang harus ditelan seorang pemimpin ketika ia lupa siapa yang sebenarnya ia layani.Â
Mari kita bedah resep komplit bencana politik yang terjadi di Pati ini, babak demi babak.
Arogansi Bupati Pati naikkan PBB 250% dan tantang warga dilawan. Viral, Presiden Prabowo perintahkan pembatalan, buktikan suara rakyat didengar. - Tiyarman Gulo
Bom Waktu yang Dinyalakan Sendiri
Semua kekisruhan ini bermula dari sebuah kebijakan yang, di atas kertas, mungkin terdengar masuk akal bagi seorang birokrat. Menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Alasannya? Sudah 14 tahun tarifnya tidak pernah naik, dan Pemkab butuh dana untuk pembangunan.
Masalahnya bukan pada "kenapa"-nya, tapi pada "bagaimana"-nya. Bupati Sudewo tidak menaikkannya sedikit. Angkanya fantastis. 250 persen!
Coba kita terjemahkan angka itu ke bahasa sehari-hari. Jika uang kos, cicilan motor, atau tagihan internet Anda yang biasanya Rp500.000, bulan depan tiba-tiba melonjak menjadi Rp1.750.000. Tanpa diskusi, tanpa peringatan yang memadai. Tentu Anda akan panik, marah, dan merasa dicekik.
Itulah yang dirasakan warga Pati. Petani, pedagang kecil, guru, hingga ibu rumah tangga tiba-tiba dihadapkan pada lonjakan beban yang tidak main-main. Di tengah kondisi ekonomi yang, mari jujur, masih butuh banyak pemulihan, kebijakan ini terasa seperti tamparan keras. Protes pun mulai bermunculan. Wajar, bukan? Siapa pun di posisi mereka pasti akan melakukan hal yang sama. Di sinilah seharusnya seorang pemimpin menunjukkan kebijaksanaannya, membuka ruang dialog, dan mendengarkan.
Tapi yang terjadi di Pati justru sebaliknya. Sang Bupati memilih jalan konfrontasi.
Yang Mengubah Protes Jadi Perlawanan
Inilah titik balik yang mengubah protes lokal menjadi isu nasional. Merespons keluhan warganya, Bupati Sudewo tidak merangkul, melainkan menantang. Pernyataannya yang ikonik, "50.000 orang pun saya hadapi," menjadi percikan api yang membakar padang sabana kemarahan publik.
Pernyataan itu adalah sebuah kesalahan fatal dalam komunikasi politik. Mengapa?
Mengubah Isu Kebijakan Menjadi Isu Harga Diri. Awalnya, warga memprotes kenaikan pajak. Setelah tantangan itu, mereka tidak lagi hanya melawan kebijakan, tapi melawan arogansi pemimpin mereka. Ini sudah menjadi soal harga diri. Warga Pati seolah diberi pesan: "Suara kalian tidak ada artinya."
Menyatukan Lawan. Orang-orang yang tadinya mungkin ragu-ragu, kini menjadi solid. Tantangan itu seperti panggilan perang yang justru menyatukan semua elemen masyarakat. Mereka merasa dilecehkan secara kolektif.
Menjadi Konten Viral Sempurna. Di era media sosial, pernyataan sombong seperti ini adalah umpan empuk. Potongan videonya menyebar secepat kilat. Tagar tentang Pati trending. Netizen dari seluruh Indonesia ikut "nimbrung", memberikan dukungan moral. Donasi untuk para demonstran mengalir deras, membuktikan bahwa perlawanan ini bukan lagi sekadar demo, tapi sebuah gerakan rakyat yang terorganisir.
Bupati Sudewo mungkin berpikir ia sedang menunjukkan ketegasan. Padahal, yang ia tunjukkan adalah ketidakpekaan. Ia lupa bahwa seorang bupati bukanlah seorang raja yang absolut, melainkan seorang pelayan yang digaji oleh pajak rakyatnya sendiri. Dengan menantang mereka, ia secara tidak langsung sedang menantang atasannya sendiri, yaitu rakyat.
Ketika Presiden Prabowo Turun Tangan
Saat api di Pati makin membesar dan berpotensi menjadi kebakaran nasional menjelang perayaan kemerdekaan, radar di istana pusat pun menyala. Presiden Prabowo Subianto, yang baru saja memulai pemerintahannya, tidak tinggal diam.
Melalui Wakil Menteri Pertanian yang juga Ketua Gerindra Jawa Tengah, Sudaryono, perintah dari puncak kekuasaan itu turun dengan jelas, singkat, dan tanpa basa-basi.
Perintahnya ada dua.
Batalkan kebijakan kenaikan PBB 250 persen itu. Titik. Tidak ada negosiasi.
Cari sumber pembiayaan lain. Disarankan untuk fokus menarik investasi, bukan membebani rakyat yang sudah ada.
Ini adalah momen deus ex machina dalam drama ini. Sebuah intervensi dari kekuatan yang lebih tinggi yang langsung mengubah alur cerita. Pesan politiknya sangat kuat.
Pemerintah pusat di bawah Prabowo ingin menunjukkan citra responsif, cepat tanggap, dan berpihak pada kepentingan rakyat kecil. Isu yang dibiarkan berlarut-larut di daerah bisa merusak citra pemerintah secara keseluruhan, dan mereka tidak akan membiarkannya.
Tikungan 180 Derajat, dari "Tak Gentar" Menjadi "Tegak Lurus"
Lalu, apa yang terjadi pada tembok arogansi yang tadinya tampak begitu kokoh? Runtuh seketika.
Bupati Sudewo, yang beberapa hari sebelumnya dengan gagah berani siap menghadapi 50.000 massa, langsung "tegak lurus" melaksanakan perintah. Kebijakan kenaikan PBB dibatalkan. Permintaan maaf pun diucapkan.
Perubahan sikap yang drastis ini menunjukkan sebuah realitas politik yang telanjang. Ada hierarki kekuasaan yang tidak bisa dilawan. Seorang bupati boleh saja menjadi "raja kecil" di daerahnya, tapi ia tetap berada di bawah gubernur dan presiden.
Meskipun Sudewo telah meminta maaf dan membatalkan kebijakannya, nasi sudah menjadi bubur. Kepercayaan publik sudah terlanjur terkoyak. Permintaan maaf yang datang setelah adanya "perintah dari atas" sering kali terasa tidak tulus, lebih seperti keterpaksaan daripada kesadaran. Luka di hati masyarakat Pati mungkin butuh waktu lebih lama untuk sembuh.
Pelajaran Mahal yang Bisa Kita Petik Bersama
Kisah dari Pati ini lebih dari sekadar berita viral sesaat. Ia adalah sebuah cermin besar bagi para pemimpin, dan juga bagi kita sebagai rakyat. Ada beberapa pelajaran abadi di dalamnya.
Kekuatan Rakyat Itu Nyata. Di era digital, suara rakyat tidak bisa lagi diremehkan. Sebuah keluhan lokal bisa menjadi gelombang tsunami nasional dalam hitungan jam. Jangan pernah menantang kekuatan kolektif yang merasa harga dirinya diinjak-injak.
Komunikasi Adalah Segalanya. Seorang pemimpin bisa punya niat baik, tapi jika cara komunikasinya buruk, niat itu tidak akan pernah sampai. Empati, kerendahan hati untuk mendengar, dan kemampuan merangkul jauh lebih kuat daripada arogansi dan ketegasan yang buta.
Kekuasaan Adalah Amanah, Bukan Hak Milik. Jabatan bupati, gubernur, hingga presiden adalah amanah dari rakyat. Menggunakan kekuasaan untuk menekan rakyat yang seharusnya dilayani adalah bentuk pengkhianatan terbesar terhadap amanah tersebut.
Tidak Ada Lagi "Isu Lokal". Dengan konektivitas hari ini, semua masalah bisa menjadi perhatian nasional. Pemimpin di daerah harus sadar bahwa setiap kebijakan dan ucapan mereka kini diawasi oleh jutaan mata di seluruh Indonesia.
Kisah Bupati Sudewo adalah pengingat pahit bahwa di panggung politik, skrip bisa berubah kapan saja. Aktor utamanya bukanlah para pejabat, melainkan rakyat itu sendiri. Dan ketika rakyat sudah bersuara serentak, bahkan tembok kekuasaan setinggi apa pun bisa runtuh dalam sekejap.
Bagaimana menurut Anda? Apakah intervensi dari pemerintah pusat seperti ini adalah solusi yang tepat, atau seharusnya setiap masalah diselesaikan murni di tingkat lokal, bahkan jika harus melalui konflik yang panjang?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI