Seorang diplomat muda, cerdas, dengan masa depan membentang luas. Ia baru saja mendapatkan kabar impian, sebuah penempatan tugas di Finlandia, negara yang menjadi dambaan banyak abdi negara. Antusiasme dan gairah hidup seharusnya sedang berada di puncaknya. Namun, di tengah euforia itu, ia ditemukan tewas. Kesimpulan resmi? Bunuh diri. Tapi ada yang tidak pas. Sebuah narasi yang terasa dipaksakan, sebuah teka-teki yang kepingannya menolak untuk menyatu.
Keraguan ini bukan hanya bisik-bisik di ruang publik. Keraguan ini disuarakan lantang oleh seorang mentor para diplomat, mantan Duta Besar RI untuk AS, Dino Patti Djalal. Dengan pengalamannya yang puluhan tahun di dunia diplomasi, Dino tidak hanya melihat sebuah tragedi, ia melihat serangkaian kejanggalan yang mengusik akal sehat.Â
"Saya sulit sekali menerima kesimpulan bahwa diplomat muda Arya Daru itu bunuh diri," ujarnya.Â
Mari kita selami lebih dalam lima tanda tanya besar yang ia sodorkan, yang membuat kasus ini jauh dari kata selesai.
Dino Patti Djalal ragukan kesimpulan bunuh diri diplomat Arya Daru. Ia soroti kejanggalan metode, psikologi, hingga bukti hilang & minta kasus dibuka. - Tiyarman Gulo
1. Kejanggalan Metode, Sejak Kapan Lakban Menjadi Alat Bunuh Diri?
Poin pertama yang langsung membuat dahi berkerut adalah metode kematiannya. Menurut laporan, Arya Daru mengakhiri hidupnya menggunakan lakban. Dino Patti Djalal, dengan pengalamannya yang luas, langsung menyoroti ini sebagai sebuah anomali yang luar biasa.
"Pertama kali saya mendengar bahwa dia bunuh diri dengan cara lakban, saya mengatakan tidak pernah seumur hidup saya mendengar orang bunuh diri dengan cara lakban," kata Dino.Â
Pernyataannya ini menyentuh logika dasar kita. Metode bunuh diri yang umum kita dengar biasanya melibatkan cara-cara yang cepat atau pasti. Penggunaan lakban untuk tujuan mematikan adalah sesuatu yang sangat tidak lazim, rumit, dan menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana hal itu bisa dilakukan seorang diri hingga tuntas. Ini bukan sekadar detail forensik; ini adalah fondasi cerita yang dari awal sudah terasa goyah. Apakah ini benar sebuah pilihan putus asa, atau sebuah skenario yang dirancang agar terlihat seperti itu?
2. Psikologi yang Bertolak Belakang, Euforia Menuju Finlandia
Seorang diplomat yang akan berangkat ke pos penempatan baru, apalagi ke negara sekelas Finlandia, biasanya berada dalam kondisi mental yang sangat positif. Ini adalah puncak dari kerja keras, penantian, dan persiapan bertahun-tahun. Dino, yang sangat memahami psikologi korps diplomatik, menggambarkan momen ini sebagai saat di mana seseorang dipenuhi "gairah dan gelora hidup."
Ini menciptakan sebuah kontradiksi yang tajam. Bagaimana mungkin seseorang yang sedang berada dalam puncak antusiasme profesional dan personal, tiba-tiba terjun ke dalam jurang depresi yang begitu dalam hingga memutuskan untuk mengakhiri hidup?Â
"Dari segi psikologi ini tidak cocok dengan psikologi orang yang mengalami depresi, yang mau bunuh diri," jelas Dino.Â
Tidak adanya riwayat masalah kejiwaan yang signifikan atau keluhan sebelumnya membuat kesimpulan bunuh diri terasa seperti sebuah lompatan logika yang terlalu jauh.