Dalam kasus Tom Lembong, abolisi ini menghentikan segala proses hukum lanjutan, termasuk upaya banding atau kasasi yang mungkin sedang atau akan berjalan. Game over.
Mengingat Kembali Kasus Janggal Tom Lembong
Untuk mengerti mengapa abolisi ini dianggap "solusi," kita harus kembali ke akar masalahnya vonis yang diterima Tom Lembong. Lulusan Harvard yang cemerlang ini, yang pernah menjadi Menteri Perdagangan di era pertama Presiden Jokowi, tersandung kasus korupsi terkait kebijakan impor.
Pengadilan tingkat pertama menyatakan ia bersalah karena kebijakannya dianggap merugikan keuangan negara hingga Rp194,72 miliar. Angka ini tentu membuat publik terhenyak. Namun, di sinilah letak keanehannya yang menjadi polemik besar.
Majelis hakim, dalam putusan yang sama, menyatakan bahwa Tom Lembong tidak terbukti menerima keuntungan pribadi dari kerugian negara tersebut.
Ini adalah sebuah paradoks hukum yang luar biasa. Sederhananya, logika awamnya begini: jika disebut korupsi, bukankah seharusnya ada uang yang "dikorupsi" atau dinikmati secara pribadi? Kasus ini membuka perdebatan sengit tentang perbedaan antara kebijakan yang salah (dan merugikan) dengan tindak pidana korupsi (yang mengandung niat jahat untuk mencuri).
Bagi para pendukungnya, Tom Lembong adalah korban. Ia mungkin membuat keputusan bisnis yang keliru sebagai pejabat, sebuah risiko jabatan. Namun, menyeretnya ke ranah pidana korupsi tanpa ada bukti ia memperkaya diri dianggap sebagai bentuk kriminalisasi kebijakan. Inilah "masalah dalam proses hukum" yang disinggung oleh pengacaranya.
Mengapa Prabowo Memberi "Karpet Merah"?
Sekarang, kita masuk ke bagian paling menarik: analisis politik. Mengapa Presiden Prabowo, yang notabene adalah rival politik sengit dari kubu Anies-Tom Lembong, mau repot-repot mengajukan abolisi?
Jawabannya kemungkinan besar terangkum dalam satu kata, Rekonsiliasi.
Menyudahi Perang Politik. Pemilu 2024 adalah salah satu yang paling membelah bangsa. Dengan "menyelamatkan" salah satu ikon intelektual dari kubu lawan, Prabowo mengirimkan sinyal yang sangat kuat: "Perang sudah usai. Mari kita bersatu membangun bangsa." Ini adalah sebuah olive branch, sebuah ranting zaitun simbol perdamaian.
Menunjukkan Kenegarawanan. Langkah ini memposisikan Prabowo sebagai pemimpin yang besar hati, yang mampu melampaui dendam politik demi apa yang ia anggap sebagai keadilan. Ia tidak menggunakan kekuasaannya untuk menekan lawan, melainkan untuk membebaskannya dari apa yang dianggap sebagai proses hukum yang cacat. Ini adalah citra negarawan yang sangat positif.
Konsolidasi Kekuatan. Dengan merangkul (secara simbolis) figur dari kubu lawan, Prabowo berpotensi meredam suara-suara oposisi yang paling keras. Ini adalah langkah strategis untuk menciptakan stabilitas politik di awal masa pemerintahannya. Apresiasi yang datang dari kubu Tom Lembong membuktikan efektivitas langkah ini.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!