Kamu sedang dalam perjalanan darat yang seru bersama teman-teman. Jendela mobil terbuka, angin sepoi-sepoi menerpa wajah, dan radio tiba-tiba memutar lagu yang kalian semua sukai. Seketika, suasana pecah. Teman di sampingmu mulai bernyanyi dengan penuh semangat, hafal setiap kata dari bait pertama hingga terakhir. Yang lain ikut menyahut.
Dan kamu? Kamu ada di sana, tersenyum, mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama yang begitu kamu kenal, mungkin bahkan memukul-mukul dasbor seolah-olah itu adalah drum. Kamu tahu persis kapan beat drop-nya akan datang. Kamu bisa merasakan setiap getaran bass di dadamu. Kamu hafal melodi gitarnya di luar kepala.
Tapi liriknya? Kosong. Benar-benar blank. Kamu mungkin hanya bisa ikut menyanyikan bagian chorus yang diulang-ulang, atau sekadar bergumam dengan nada yang pas.
Pernah merasa seperti ini? Pernah bertanya-tanya dalam hati, "Kenapa aku tidak bisa seperti mereka? Aku kan dengar lagu ini ratusan kali, kenapa liriknya tidak pernah menempel di otakku?"
Jika jawabanmu adalah "ya", maka tarik napas dalam-dalam dan bersiaplah untuk merasa takjub. Karena apa yang kamu anggap sebagai kekurangan atau keanehan, sesungguhnya adalah jendela menuju cara kerja otakmu yang luar biasa unik dan mendalam. Kamu tidak aneh, kamu tidak pelupa, dan kamu jelas tidak kurang mencintai musik.
Justru sebaliknya. Menurut berbagai wawasan psikologi, kebiasaan ini adalah cerminan dari 7 cara jenius otakmu dalam memproses dunia, sebuah cara yang lebih mengutamakan perasaan daripada kata-kata.
Lupa lirik lagu bukan kelemahan. Itu tanda otak unik Anda memproses musik lewat emosi, melodi, dan imajinasi, bukan sekadar kata-kata. - Tiyarman Gulo
1. Kamu Adalah Pelukis Suara, Bukan Pembaca Puisi
Bagi banyak orang, lirik adalah jiwa sebuah lagu. Mereka mendengarkan cerita, pesan, dan puisi yang terkandung di dalamnya. Tapi bagimu, musik adalah sebuah lanskap. Sebuah lukisan suara.
Saat kamu mendengarkan lagu, otakmu tidak secara otomatis memprioritaskan bagian verbalnya. Alih-alih, ia sibuk melakukan hal lain yang jauh lebih kompleks: memetakan arsitektur suara. Kamu lebih peka terhadap bagaimana dentuman drum membangun ketegangan, bagaimana melodi piano melukiskan kesedihan, atau bagaimana harmoni vokal menciptakan perasaan lapang yang membahagiakan.
Dalam istilah psikologi, ini disebut pemrosesan auditif holistik. Otakmu mengambil seluruh elemen musik, ritme, tempo, harmoni, dan melodi, lalu menggabungkannya menjadi satu pengalaman emosional yang utuh. Lirik hanyalah salah satu kuas cat di antara banyak kuas lainnya, dan terkadang, otakmu lebih tertarik pada warna-warna lain di kanvas itu.
2. Otakmu Belajar Lewat Gerakan dan Gambaran, Bukan Kata-kata
Ingatkah kamu dengan teori gaya belajar? Ada yang auditori (belajar dari mendengar), visual (dari melihat), dan kinestetik (dari bergerak dan merasakan). Orang yang mudah hafal lirik biasanya punya kecenderungan kuat pada gaya belajar auditori-verbal.
Sementara kamu? Kemungkinan besar kamu adalah seorang pembelajar visual atau kinestetik.
Coba pikirkan lagi. Mungkin kamu tidak ingat lirik lagu itu, tapi kamu ingat persis bagaimana perasaanmu saat pertama kali mendengarkannya sambil menyetir di malam hari. Kamu ingat warna langit saat itu. Kamu ingat gerakan tubuhmu saat menari mengikuti iramanya di sebuah festival. Kamu bahkan mungkin bisa membayangkan video klipnya dengan sangat jelas di kepalamu.
Otakmu mengaitkan musik dengan pengalaman fisik dan visual, bukan dengan barisan kata. Bagimu, sebuah lagu bukanlah teks untuk dihafal, melainkan sebuah gerakan untuk dirasakan atau sebuah film untuk ditonton.
3. Musik Adalah Kanvas untuk Imajinasi Liar Anda
Pernahkah kamu menyetel lagu favoritmu, lalu beberapa menit kemudian sadar bahwa pikiranmu sudah berkelana jauh? Kamu tidak lagi fokus pada lagunya, melainkan sedang membayangkan sebuah cerita, merencanakan masa depan, atau bernostalgia tentang masa lalu. Musik itu telah menjadi soundtrack untuk film epik yang sedang diputar di dalam kepalamu.
Fenomena ini disebut mind-wandering (pikiran yang mengembara), dan ini bukanlah tanda kurangnya perhatian. Sebaliknya, penelitian menunjukkan bahwa ini adalah ciri khas orang-orang dengan imajinasi tinggi dan kreativitas yang aktif.
Bagimu, musik bukan tujuan akhir; ia adalah pemicu. Ia adalah bahan bakar untuk mesin imajinasimu. Kamu tidak fokus pada lirik karena kamu terlalu sibuk menggunakan suasana yang diciptakan musik itu untuk membangun dunia, memecahkan masalah, atau sekadar menjelajahi labirin pikiranmu yang kaya.
4. Lagu Bukanlah Teks, Melainkan Mesin Waktu Emosional
Tanyakan pada dirimu: apa yang membuat sebuah lagu menjadi "lagumu"? Apakah karena liriknya mendeskripsikan hidupmu dengan sempurna? Atau karena lagu itu secara ajaib bisa membawamu kembali ke momen tertentu?
Bagi orang sepertimu, jawabannya sering kali yang kedua. Kamu mempraktikkan apa yang disebut asosiasi emosional yang sangat kuat. Otakmu tidak menyimpan lagu dalam "folder lirik", melainkan dalam "folder emosi".
Sebuah lagu bisa menjadi penanda untuk musim panas tahun 2015, penanda untuk patah hati pertamamu, atau penanda untuk perasaan harapan saat memulai pekerjaan baru. Kamu tidak perlu tahu kata-katanya untuk merasakan semua emosi itu kembali membanjiri dirimu. Melodinya saja sudah cukup menjadi kunci untuk membuka brankas kenangan emosional tersebut. Lagu itu, bagimu, adalah sebuah mesin waktu.
5. Kamu Menggunakan Musik Sebagai "Selimut" Sensorik
Pikirkan tentang bagaimana orang menggunakan musik. Ada yang mendengarkannya untuk sebuah cerita. Tapi ada juga yang menggunakannya seperti orang menyalakan lilin aromaterapi atau membungkus diri dengan selimut hangat.
Kamu termasuk kelompok kedua. Kamu menggunakan musik sebagai alat terapi sensorik. Kamu tahu persis playlist mana yang harus diputar untuk meningkatkan konsentrasi saat bekerja, lagu apa yang bisa menenangkan kecemasanmu, dan irama apa yang bisa memompa semangatmu sebelum berolahraga.
Dalam skenario ini, lirik menjadi tidak relevan. Fokusmu adalah pada frekuensi, getaran, dan atmosfer sonik yang diciptakan musik. Tujuannya bukan untuk memahami, melainkan untuk merasakan, untuk mengatur sistem saraf dan mengubah suasana hatimu. Kamu tidak mendengarkan narasi, kamu sedang mandi suara (sound bathing).
6. Kamu Adalah Pembaca Suasana, Bukan Pembaca Teks
Kecenderungan ini mungkin tidak hanya berlaku pada musik. Coba perhatikan, apakah kamu orang yang lebih peka terhadap vibes atau suasana di sebuah ruangan daripada detail percakapan yang terjadi? Apakah kamu lebih mengandalkan intuisimu tentang seseorang daripada kata-kata yang mereka ucapkan?
Orang yang tidak begitu fokus pada lirik sering kali adalah individu yang unggul dalam pemrosesan non-verbal dan intuitif. Mereka kurang tertarik pada detail verbal seperti puisi, kutipan, atau dialog panjang. Bukan karena tidak cerdas, tapi karena otak mereka beroperasi pada gelombang yang berbeda, gelombang makna simbolis, visual, dan intuitif.
Kamu adalah seorang "pembaca suasana". Sama seperti kamu bisa merasakan ketegangan di sebuah ruangan tanpa ada yang berbicara, kamu bisa merasakan kesedihan dalam sebuah lagu hanya dari nada minornya, tanpa perlu mendengar lirik tentang patah hati.
7. Otakmu Punya "Filter VIP" Hanya Bagian Terbaik yang Mendapat Perhatian Penuh
Mendengarkan musik selama tiga menit penuh adalah sebuah proses. Tidak setiap detik dari lagu itu memiliki dampak yang sama. Otakmu, yang sangat efisien, tahu persis hal ini.
Kamu mungkin mempraktikkan apa yang disebut selective auditory attention (perhatian pendengaran selektif). Otakmu secara tidak sadar "menyaring" bagian-bagian lagu. Ia mungkin akan sedikit rileks selama bagian verse, kemudian tiba-tiba menyalakan sorot lampu yang terang benderang ketika bagian chorus yang eksplosif, solo gitar yang melengking, atau beat drop yang memuaskan itu datang.
Kamu tidak mengingat liriknya karena, bagi otakmu, bagian itu mungkin hanya latar belakang. Perhatian penuhmu dicadangkan untuk momen-momen puncak yang memberikan ganjaran emosional atau sensorik terbesar. Kamu bukan pendengar pasif; kamu adalah seorang kurator musik yang aktif, yang hanya memilih bagian-bagian terbaik untuk dinikmati sepenuhnya.
Jadi, Apa Artinya Semua Ini?
Jika kamu menghubungkan setidaknya beberapa poin di atas, maka berhentilah merasa aneh. Ketidakmampuanmu mengingat lirik bukanlah sebuah kelemahan memori. Ini adalah bukti kekuatanmu dalam hal lain: kepekaan emosional, imajinasi yang hidup, kecerdasan kinestetik, dan intuisi yang tajam.
Bayangkan seperti ini: Ada dua cara menikmati hidangan lezat. Ada orang yang membaca resepnya dengan teliti, memahami setiap bahan dan langkah-langkahnya. Mereka adalah para penghafal lirik.
Lalu, ada kamu. Kamu tidak peduli dengan resepnya. Kamu adalah orang yang langsung menyantap hidangan itu, mengecap setiap rasa, merasakan setiap tekstur, dan menikmati kehangatan yang menyebar di perutmu. Kamu merasakan pengalaman itu secara langsung dan menyeluruh.
Keduanya adalah cara yang valid untuk menikmati makanan. Tidak ada yang lebih baik dari yang lain.
Jadi, lain kali saat kamu berada di tengah teman-temanmu yang bernyanyi bersama dan kamu hanya bisa bergumam, tersenyumlah. Kamu tidak sedang ketinggalan. Kamu justru sedang mengalami musik pada level yang berbeda, level yang lebih dalam, lebih personal, dan lebih visceral.
Kamu tidak lupa lirik. Kamu hanya terlalu sibuk mendengarkan detak jantung dari musik itu sendiri. Dan itu, sungguh, adalah sebuah bakat yang luar biasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI