Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Kepanikan, Bajak-Membajak, dan Perang Perebutan Otak Jenius AI

4 Juli 2025   13:00 Diperbarui: 3 Juli 2025   13:32 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DOKUMENTASI KEMENTERIAN LUAR NEGERI BELANDA 

Libur seminggu penuh! Bagi karyawan mana pun, ini terdengar seperti mimpi yang jadi kenyataan. Sebuah hadiah dari perusahaan atas kerja keras mereka. Tapi jangan bayangkan para jenius di balik ChatGPT sedang bersantai di pantai atau mendaki gunung dengan tenang. Karena bagi OpenAI, libur sepekan ini bukanlah sebuah liburan. Ini adalah gencatan senjata di tengah perang brutal yang sedang mereka hadapi.

Ini adalah momen untuk mengatur napas, menyusun strategi, dan menahan gempuran dahsyat dari musuh yang datang dengan kekuatan penuh. Musuh itu bernama Meta.

Libur sepekan OpenAI adalah respons panik atas pembajakan peneliti oleh Meta. Ini adalah perang talenta AI yang brutal dengan tawaran uang fantastis. - Tiyarman Gulo

Alarm Darurat di Markas ChatGPT

Di balik dinding kaca markas besar OpenAI, alarm darurat berbunyi nyaring, meski tak terdengar. Pemicunya? Eksodus para talenta terbaik mereka. Dalam sepekan terakhir, sedikitnya delapan peneliti senior, otak-otak brilian yang menjadi tulang punggung riset, telah mengemasi barang mereka. Tujuannya, bergabung dengan "tim superintelligence" milik Meta, unit baru yang dibentuk Mark Zuckerberg untuk satu misi, menyalip OpenAI dan mendominasi dunia AI.

Eksodus ini bukan tanpa sebab. Tekanan di OpenAI dilaporkan sudah di level tidak manusiawi, dengan beban kerja mencapai 80 jam per pekan. Kelelahan dan burnout membuat para peneliti ini menjadi target empuk. Dan Meta tahu persis kapan harus menyerang.

"Seseorang Masuk ke Rumah Kita dan Mencuri Sesuatu"

Rasa sakit akibat "pembajakan" ini terasa begitu dalam hingga ke level pimpinan tertinggi. Dalam sebuah memo internal yang bocor ke publik, Chief Research Officer OpenAI, Mark Chen, tidak bisa lagi menyembunyikan amarah dan rasa dikhianatinya.

"Saya merasa sangat dalam sekarang, seolah-olah seseorang masuk ke rumah kita dan mencuri sesuatu," tulis Chen. 

Kalimat ini bukan sekadar retorika korporat. Ini adalah teriakan pilu seorang komandan yang melihat pasukan elite-nya direbut di depan matanya.

"Percayalah, kami tidak tinggal diam," lanjutnya, menjanjikan sebuah respons strategis. Ia dan CEO Sam Altman disebut sedang bekerja tanpa henti, bukan untuk mengembangkan produk baru, melainkan untuk mempertahankan tim mereka agar tidak rontok.

Senjata Pamungkas Meta

Bagaimana cara Meta membujuk para jenius ini? Jawabannya sederhana dan brutal, uang. Uang dalam jumlah yang bisa mengubah hidup seseorang dalam sekejap.

Sam Altman sendiri yang mengungkap senjata paling mematikan dari Meta. Dalam sebuah podcast, ia menyebut bahwa Meta berani menawarkan bonus penandatanganan dan total kompensasi tahun pertama yang nilainya mencapai 100 juta dolar AS (sekitar Rp 1,6 triliun). Sebuah angka yang begitu fantastis, hingga terdengar seperti fiksi.

Meski pihak Meta membantah, sumber-sumber internal di OpenAI membenarkan adanya tawaran-tawaran dengan nilai luar biasa ini. Inilah dilema yang dihadapi para peneliti itu, bertahan demi loyalitas pada misi OpenAI, atau pindah dan menjadi miliarder dalam semalam?

Seruan Bertahan dari Para Jenderal OpenAI

Menghadapi gempuran finansial ini, para "jenderal" di OpenAI melancarkan serangan balasan, bukan dengan uang, tapi dengan bujukan moral dan emosional. Tujuh kepala divisi riset lainnya serempak mengirimkan pesan kepada staf mereka, memohon agar mereka tidak tergiur.

"Jika mereka memberi tawaran mepet waktu, atau menekan kalian untuk cepat memutuskan, tolong katakan pada mereka untuk mundur," tulis salah satu pimpinan. 

"Itu bukan cara yang etis untuk memengaruhi keputusan terpenting dalam hidup seseorang."

Peringatan lain bahkan lebih spesifik, menyoroti siasat licik di balik kebijakan libur sepekan itu. 

"Meta tahu kita sedang istirahat minggu ini, dan mereka akan memanfaatkan kesempatan itu untuk mendorong kalian membuat keputusan cepat," kata seorang peneliti.

Liburan yang seharusnya menjadi momen relaksasi, justru berubah menjadi periode paling rentan bagi OpenAI.

Ini Bukan Sekadar Perebutan Karyawan, Ini Perang Menguasai Masa Depan

Di permukaan, ini mungkin terlihat seperti dinamika bisnis biasa di Silicon Valley, tempat bajak-membajak karyawan adalah hal lumrah. Namun, pertaruhan di sini jauh lebih besar.

Ini adalah perang untuk mengumpulkan otak-otak paling cemerlang di planet ini demi satu tujuan, membangun Kecerdasan Buatan Tingkat Lanjut (AGI). Siapa pun yang berhasil lebih dulu tidak hanya akan memenangkan pasar; mereka akan memegang kendali atas teknologi paling transformatif dalam sejarah manusia.

Jadi, ketika para karyawan OpenAI menikmati libur mereka, para petinggi di kedua perusahaan tidak tidur. Mereka sedang bertempur dalam perang senyap yang akan menentukan arah masa depan kita semua. Dan libur sepekan ini hanyalah jeda singkat sebelum pertempuran berikutnya yang lebih besar dimulai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun